Sebagian besar dari pembaca tentu pernah membaca buku tentang peristiwa G30S (cukup saya sebut begitu mengingat polemik ini tak pernah menemui kejelasan dan rasanya cukup adil untuk tidak menyinggung suatu pihak). Setidaknya anda pernah membacanya dan mempelajari sejarahnya di institusi sekolah. Saya yakin anda tidak akan menemui sebuah kebaruan fakta jika anda membaca dari buku diktat dengan kurikulum dari Kemendiknas atau buku yang dipromotori oleh pemerintah. Terutama sekali buku-buku dari yang empunya Orde Baru. Itu hal yang lumrah, mengingat di Indonesia ini penulisan sejarah sebagian besar masih didominasi oleh “sejarah orang besar”.
Angin segar berhembus ketika reformasi bergulir. Fakta-fakta baru yang sebelumnya haram dituturkan mulai ramai dikaji. Sejumlah kemungkinan-kemungkinan baru pun bermunculan. Termasuk juga dari tangan peneliti-peneliti luar negeri, G30S menjadi objek yang tak habis-habis digali. Tulisan terakhir tentang G30S yang saya catat adalah dari tangan Julius Pour. Namun semuanya, baik dari zaman Orba hingga kemarin, hanya sebatas memelototi dari sudut pandang besar yang luas. Kebanyakan bicara dengan gaya merekonstruksi. Mengapa terjadi G30S? Siapa saja yang terlibat? Siapa saja korbannya? Atau sebenarnya G30S itu apa sih? Hanya stagnan di sekitar itu-itu saja. Jenuh dan sepertinya malah menggiring pada pemitosan G30S.
Dari beberapa buku-buku yang pernah saya amati, tidak ada yang mendalaminya secara lebih personal. Semuanya dipukul rata sebagai “objek benda” sejarah. Bukan sebagai manusia yang turut membuat sejarah. Nah, ditengah-tengah pola monoton inilah buku hasil investigasi dari majalah TEMPO yang menghadirkan para “orang kiri” ini menjadi penting. TEMPO memberikan perspektif dan warna yang baru dalam memandang para “tersangka” G30S. Lebih menarik lagi bahwa sebagai sebuah karya berbau sejarah, seri buku Orang Kiri Indonesia bukanlah lahir dari metodologi sejarah yang lazim, tetapi lahir dari jurnalisme investigasi yang khas.
Jika kebanyakan buku sejarah memandang G30S dari mainstream besar konspirasi maka yang disuguhkan TEMPO kepada pembaca adalah sebuah kecualian. Daripada mengekor pada arus besar yang berkembang selama ini, TEMPO lebih memilih untuk memberikan pandangan yang lebih personal. Satu per satu kisah para petinggi PKI dikupas layaknya sebuah hikayat yang hidup. Mereka bercerita, bukan menjelaskan. Jadilah sudut-sudut gelap yang selama ini jarang diketahui publik dapat diungkap. Dan karena mereka bercerita, alih-alih mendiskreditkan, malah kita disuguhi sisi-sisi penuh warna dari seorang Aidit, Njoto, Sjam, dan sesepuhnya, Muso.
Siapa yang sangka bahwa Njoto, wakil ketua II CC PKI adalah seorang seniman yang jago meniup saksofon dan romantis. Siapa nyana bahwa Muso yang mengobarkan dua kali pemberontakan, di masa remajanya adalah anak pesantren yang tekun. Atau siapa yang mengira bahwa Sjam, ketua Biro Khusus PKI, adalah ayah yang lembut kepada anak-anaknya. TEMPO memberikan perspektif yang berwarna, tidak sekadar hitam-putih. Bangunan cerita yang ditampilkan pun jauh dari kesan “mencari” kesalahan seseorang atau menuduh. Inilah yang menjadikan buku ini layak baca.
Lewat metode jurnalisme investigasi ala TEMPO buku ini berusaha menampilkan para “tertuduh” itu secara manusiawi. Manusia yang juga menjalani hidupnya di bumi Indonesia yang penuh pergolakan kala itu. Lewat tuturan para narasumbernya, yang berasal dari keluarga, kawan seperjuangan, maupun para korban G30S, jadilah kita tahu siapakah Aidit, Muso, Sjam, dan Njoto. Bagaimana keseharian mereka, masa kecil, dan juga kisah cinta mereka. Sekali lagi, lewat buku ini TEMPO mengajak kita melihat tokoh-tokoh kontroversial ini sebagai seorang manusia biasa.
Agaknya TEMPO tak hendak bermaksud membuat sebuah buku biografi. Karena itulah, jika dipandang sebagai biografi, buku ini masih lemah di sana-sini. Penuturan yang kurang runut dan kadang-kadang meloncat-loncat menjadikan buku ini agak membingungkan bagi pembaca yang masih awam terhadap sosok Moso, Aidit, Njoto, dan Sjam. Tapi memang awalnya buku ini adalah sebuah liputan investigasi, bukan biografi. Namun tetap saja usaha rekonstruksi sejarah oleh TEMPO ini patut kita apresiasi ditengah asumsi masyarakat yang hingga detik ini masih sinis dan phobia pada hal-hal yang berbau G30S.
`Jika pembaca yang budiman telah memiliki beberapa buku tentang G30S, saya sarankan koleksi juga buku ini. Selamat Membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar