Secara pasti, perihal kapan awalnya Aceh menjadi sebuah kerajaan atau kesultanan belumlah dapat diungkap secara jelas. Sejauh yang dapat ditelusuri dari berita-berita Cina, Arab, India, dan bahkan Eropa (para sejarawan dan arkeolog pun masih bersiang pandapat) dapat diketahui bahwa di pesisir utara pulau Sumatra memang memiliki banyak kota pelabuhan. Namun dari kesemuanya, menurut sejarawan Denys Lombard, masih juga terdapat kesimpangsiuran, apalagi perihal masa awal kesultanan Aceh. Data-data yang lebih terang tentang Aceh muncul ketika memasuki abad ke 16.
Meski begitu, setidaknya dapat diketahui bahwa sebelum memasuki abad ke 16 itu, telah muncul tiga kerajaan yang cukup kuat di pesisir utara Sumatra. Pasai, Pidir, dan Aceh. Menurut Tome Pires, pada waktu itu Aceh merupakan kekuatan yang “masih muda” jika dibandingkan dengan Pasai dan Pidir. Bahkan sebelum 1520, Aceh masih merupakan daerah bawahan Pidir. Adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang memimpin Aceh untuk merdeka dari Pidir.
Sultan Brahim (sebutan orang Portugis untuk Sultan Ali) kemudian menjalankan politik ekspansi dan mulai membangun imperium Kesultanan Aceh Darussalam. Belum diketahui kapan Sultan Brahim naik tahta, tapi diketahui bahwa ia menyatakan merdeka dari Pidir pada 1520 dan mulai Daya pada tahun itu juga. Bahkan tujuh tahun sebelumnya, Aceh menyerang Deli. Setalah mengepungnya selama enam minggu, akhirnya Deli jatuh. Pada tahun 1524 Pasai dan Pidir malah berhasil ditaklukkannya. Tak berselang lama, setelah memantapkan kekuasaannya, Aceh bersiap melawan Portugis di Malaka. Mei 1521, armada Jorge de Brito harus menerima kekalahan menghadapi armada Kesultanan Aceh.
Aceh terus berjaya. Tahun 1537 Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar naik tahta. Sama seperti pendahulunya, Aceh tetap menjalankan politik ekspansinya, bahkan semakin gencar. Hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan Timur Tengah digiatkan terutama dengan Mesir, Abbyssinia, dan Turki. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar inilah berturut-turut Batak, Aru, dan Barus ditaklukkan.
Berkali-kali Aceh mencoba menghalau kekuatan Portugis di Malaka. Tercatat pada 1537, 1547, dan 1568 Malaka diserang Aceh. Penyerangan ini juga melibatkan tentara kerajaan Turki yang diperbantukan. Setelah melewati masa-masa perang yang panjang melawan Portugis, Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar mangkat pada 1571. Penggantinya adalah Sultan Alaudin Mansur Syah yang memerintah hingga tahun 1585. Selanjutnya pada periode 1585-1588 naiklah Sultan Alaudi Ri’ayat Syah ibnu Sultan Munawar Syah dan selanjutnya Sulatan Alaudin Ri’ayat Syah ibnu Firman Syah.
Sejak masa itu, mulailah para kompeni Inggris dan Belanda memasuki Nusantara. James Lancester singgah di Aceh pada 1599 dan kembali lagi pada 1602. Juga orang-orang Belanda di bawah Cornelis de Houtman pada 30 Juni 1599. Saat itu Aceh terkenal akan hasil ladanya. Sultan Munawar Syah wafat pada 1604 dan digantikan Sultan Muda atau Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Mukammal hingga wafat pula tahun 1607.
Setelah wafatnya Sultan Muda, naiklah Sulatan Iskandar Muda dan dimulailah masa keemasan Kesultanan Aceh. Semasa pemerintahan Iskandar Muda wilayah Aceh telah meliputi Samudera Pasai, Pidir, Aru, Tiku, Deli, Pasaman, Lamuri, Daya, dan beberapa koloni di wilayah semenanjung Malaka. Dapat dipastiakan bahwa Malaka-Portugis adalah sebuah kegagalan sampai saat itu. Tetapi Sultan tentu tak mau kehilangan kontrol terhadap Selat Malaka yang ramai itu. Setidaknya Denys Lombard mencatat bahwa Kesultanan Aceh dapat menguasai Batu Sawar, Kedah, dan Pahang. Otomatis dengan begitu meskipun Malaka tetap berada dalam penguasaan Portugis, tetapi Sultan Iskandar Mudalah yang menguasai jaringan perdagangan di Selat Malaka.
Peta wilayah Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda Mekuta Alam |
Sejarah awal emporium Aceh adalah sejarah penaklukan, sementara dalam hal penghidupan, rakyat Aceh cukup banyak hidup dari hasil laut. Menangkap ikan, baik di laut atau di sungai menjadi keseharian bagi rakyat Aceh. Setelah nelayan, orang Aceh banyak yang hidup sebagai perajin, terutama logam. Pada masanya rakyat Aceh menghasilakan kerajinan logam yang cukup berkualitas. Senjata-senjata besi, meriam, dan beberapa alat dari emas, kuningan dan tembaga menjadi kerajinan utama Aceh. Lalu ada pula segolongan rakyat yang menjadi tukang kayu. Sehari-hari mereka mengerjakan pembangunan rumah, kapal-kapal nelayan, dan juga kapal perang.
Sistem kemasyarakatan di Aceh pun bisa dikatakan cukup tinggi. Ada kelompok bangsawan kerajaan yang bergelar Tuanku dan golongan Uleebalang yang bergelar Teuku. Semetara itu dikalangan ulama’ dipakai gelar Teungku. Di lapisan bawah adalah rakyat kebanyakan yang terbagi lagi menjadi beberapa sebutan. Misalnya ureung tunong yang tinggal di pedalaman atau daerah gunung, ureung duson dan baroh yang tinggal di desa-desa dan pesisir, serta ureung banda yang tinggal di kota. Meskipun perkawinan antara golongan atas dan bawah jarang terjadi, namun susunan masyarakat Aceh bukanlah sistem yang hierarkis kaku. Sebagai Kesultanan maritim orang-orang Aceh amat terbuka dalam menerima perubahan-perubahan.
Sebuah lukisan litografi yang menggambarkan suasana pelabuhan Aceh Darussalam. |
Namun tentu saja, sebagai penguasa selat, perekonomian Aceh bertumpu pada bidang perdagangan. Sejak masa Sultan Al-Mukammal Aceh membuka empat pelabuhan utamanya untuk perdagangan internasional. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah daerah taklukkan di Pantai Cermin, Pidir, Daya, dan Pasai. Komoditas dagang utama dari Aceh adalah lada. Berbagai bangsa berdatangan untuk berdagang di Aceh. Diantaranya dari Parsi, Arab, Cina, Siam, Benggala, Turki, dan bahkan sekelompok kecil pedagang Portugis dan Spanyol.
Konfrontasi terus-menerus yang dilncarkan Aceh terhadap kedudukan Portugis di Malaka menjadikan Selat Malaka seringkali tidak aman untuk dilayari. Dan bersamaan dengan itu, nun jauh di selatan Kesultanan Banten mulai tumbuh dan meramaikan Selat Sunda. Hal ini membuat jalur pelayaran beralih menyusuri pantai barat Sumatra. Segeralah pelabuhan-pelabuhan di Pariaman, Indrapura, dan Selabar menjadi ramai. Sekali lagi hal ini mengalirkan untung tak terkira bagi Aceh.
Hal seperti ini sangat menguntungkan bagi politik ekspansi Aceh. Setelah mengkonsolidasi daerah pusat, kembalilah Sultan Iskandar Muda berpetualang. Nias berhasil ditaklukkan. Pada 1612 Aru yang sempat memisahkan diri kembali diikat. Setelah itu berturut-turut Deli, Rokan, dan Kampar menyatakan kesetiaan pada Sultan. Sementara itu Indragiri dan Jambi terpaksa mengakui hegemoni Aceh dan rela menjual ladanya untuk Aceh. Ketika Demak sudah compang-camping dan sekarat, Aceh terus berjaya.
Di bidang urusan dalam negeri Aceh mengadakan konsolidasi dan strukturisasi birokrat yang tertib. Ada dua pembagian tugas yang jika sekarang ini kita kenal sebagai lembaga eksekutif dan legislatif. Sultan tentu saja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bantu oleh seorang perdana menteri yang membawahi menteri-menteri dalam mengelola urusan negara. Setingkat dengan perdana menteri ada Kali Malikon Ade (Qadhi Malikul Adil) yang mengepalai Mahkamah Agung dibantu para muftinya. Untuk urusan militer didirikan Balai Laksamana yang dikepalai seorang laksamana yang mengatur angkatan darat dan laut sekaligus. Dibentuk pula Menteri Dirham yang menguasai keuangan kesultanan. Dn untuk mengatur administrasi negara dibentuklah Keureukon Katibulmuluk atau sekretaris negara. Urusan administrasi sendiri dipeganga oleh dua orang pejabat yaitu Sri Indrasura dan Sri Indramuda.
Sementara itu untuk membantu Sultan diadakan pula semacam majelis legislatif yang dinamakan Balairung. Lembaga ini terdiri atas empat uleebalang terbesar Aceh. Ada pula Balai Gedeng yang terdiri dari 22 ulama’ terkemuka dan Balai Mahkamah Rakyat beranggotakan 73 wakil dari berbagai mukim (semacam distrik). Lalu untuk mengurusi daerah-daerah taklukan diluar wilayah inti terdapat lembaga khusus yang diberi mandat oleh Sultan.
Di luar negeri sendiri, Kesultanan Aceh banyak menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Islam di Timur Tengah dan beberapa kerajaan di Eropa. Turki diketahui sebagai sahabat Aceh yang cukup loyal. Beberapa kali Turki yang ketika itu dikuasai Dinasti Ustmaniah ikut membantu konfrontasi Aceh dengan Portugis. Bantuan-bantuan itu terutama senjata-senjata atau kiriman para teknisi-teknisi Turki yang cakap. Kesultanan Aceh juga diketahui berusaha menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Inggris. Selain dengan kedua kekuatan dunia itu, Aceh setidaknya pernah membuat kontak dengan Prancis, Belanda, dan tentu saja Cina.
Pada 1629 sekali lagi Sultan Iskandar Muda yang ambisius itu mengadakan serangan ke Malaka. Dan seperti yang sudah-sudah, armada militer Aceh pulang dengan tangan hampa. Setelah itu Sultan Iskandar Muda sepertinya sudah kapok. Selama 7 tahun terakhir masa pemerintahannya tak sekalipun armada Aceh dikirim ke Malaka. Bisa dikatakan masa ini adalah “a turning point in Aceh’s history” dalam bahasan Bernard H.M. Vlekke. Meski begitu Sultan tetap keras dan tak mau berkompromi dalam politiknya. Baginya Kesultanan Aceh harus tetap berwibawa di mata kawan dan lawan. Namun ironisnya, angkatan perang Kesultanan Aceh dalam keadaan kritis.
Tahun 1636 Sultan Iskandar Muda wafat membawa obsesinya menaklukn Malaka yang tak pernah kesampaian. Penggantinya adalah menantunya sendiri yang bergelar Sultan Iskandar Tsani Alaudin Mughayat Syah. Sang menanti ternyata tak seteguh mertuanya. Ditangan Sultan Iskandar Tsani politik Aceh menjadi lunak. Baginya yang terpenting adalah mengembangkan pembangunan dan pendidikan Islam. Tidak seperti pendahulunya yang tak rela Malaka sampai dikalahkan oleh orang selain orang Aceh, Iskandar Tsani justru membiarkan Belanda menelikungnya dan merebut Malaka. Apa mau dikata, keadaan angkatan perang Aceh sangat tidak memadai untuk menjalankan poliik ekspansi kolot ala Sultan-sultan pendahulunya.
Aceh sepeninggal Iskandar Muda adalah raksasa yang kehabisan tenaga, kelelahan dan akhirnya tidur. Setelah beberapa wilayahnya digerogoti Belanda, Sultan Iskandar Tsani wafat pada 1641. Penggantiny adalah putrinya yang merupakan Sultan wanita pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh. Ia bergelar Sri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zillulahi fil Alam binti Sultan Raja Muda johan Berdaulat. Ia memerintah selama 34 tahun sejak 1641 hingga 1675. Sama seperti ayahnya, Sultanah Tajul Alam tidak terlalu hirau pada bidang militer. Aceh pada masa itu bukan lagi Kesultanan yang ekspansif. Alih-alih memperkuat angkatan perangnya untuk berekspansi, kondisi dalam negeri Aceh sendiri bisa dikatakan sudah rapuh.
Untunglah Sultanah Tajul Alam cukup piawai dalam menjaga keseimbangan politik. Dari dalam negerinya saja ia harus berhadapan dengan ulama-ulama yang tidak setuju ia menjadi Sultan. Aksi ini seringkali ditunggangi oleh golongan uleebalang yang gila kekuasaan. Intervensi dari pihak asing pun seringkali mengambil kesempatan dari situasi sulit ini. Belum lagi selesai dengan urusan dalam negerinya, Sultanah Tajul Alam masih harus berhadapan dengan VOC Belanda yang mulai memutilasi wilayah-wilayah taklukan. VOC dengan imbalan monopoli dagang dengan senang hati memberikan bantuan bagi daerah-daerah luar untuk melepaskan diri dari hegemoni Aceh.
Setelah mengarungi masa-masa sulit akhirnya Sultanah Tajul Alam wafat pada 23 Oktober 1675. Ia wafat dengan gemilang setelah berhasil mempertahankan keutuhan Kesultanan Aceh. Meskipun pada masanya wilayah Kesultanan Aceh hanya menyisakan wilayah intinya di bagian utara Sumatra, ia tetap dikenang dan memiliki wibawa tinggi karena telah sukses menghadang VOC.
Sepeninggal Sultanah Tajul Alam Aceh benar-benar talah tertidur. Para sultan setelahnya tak banyak mencatatkan prestasi yang dapat diperhitungkan. Wibawa Aceh dapat dikatakan telah habis. Sultan seperti hanya sebagai simbol saja, tak lebih. Kaum uleebalanglah yang menentukan haluan politik Aceh. Barulah pada paruh terakhir Abad 19 Aceh dengan sisa-sisa kekuatannya bangun karena diusik oleh Hindia Belanda. Bahkan Aceh menjadi “daerah luar” Hindia Belanda yang paling gigih dan paling sulit di taklukkan. Namun akhirnya Kesultanan Aceh runtuh juga. Intrik-intrik politik dikalangan uleebalang dan golongan ulama’ mempersulit posisi Aceh dan akhirnya runtuh dalam satu gebrakan oleh Hindia Belanda.
Daftar Pustaka :
Ahmad, Zakaria. 1972. Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675. Medan : Penerbit Monora.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoened, et al. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Edisi Pemutakhiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Sri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah bukanlah putri sultan iskandar tsani melaikan istri beliau..ratu safiatuddin putri dari sultan iskandar muda adik dari meurah pupoek yang dihukum oleh sultan karena sebuah kesalahan...maka sepeninggal sultan iskandar muda yang menjadi sultan menantunya karena putra mahkota telah dihukum mati...
BalasHapus