Amboi, panas nian hari siang begini. Setiap orang lalu lalang tampaknya punya kelakuan sama denganku. Sebuah koran atau apapun yang cukup lebar dikibas-kibaskan. Kata orang jawa sumuk gak ketulungan. Tetap saja keringat itu menetes mengikuti sistem yang telah ter-install rapi di tubuhku. Bah, cari becak sajalah.
Ada aku hampiri tukang becak yang tampak cukup kuat. Aku tak mau cari yang tua, kasihan. Umur kutaksir empat puluhan, otot berisi pula. Aku dekati dan aku tawar-tawar. Ditanyanya aku hendak ke mana. Aku jawab ke desa yang di pinggir kecamatan. Mafhumlah aku si bapak tukang becak mengernyit.
“Ya, itu desa mana? Kan banyak desa to.”
“Sak kersanipun sampean mawon lah Pak.”[i]
Beliau menggaruk-garuk kepalanya. Aku memang tak ada tujuan, musafir yang pergi kemana saja. Dan aku tak sebegitu mengenal daerah ini. Tadi hanya aku lihat nama kecamatan Sukoarjo, di bawah sebuah banner toko bangunan. Lalu aku lihat sekeliling dan menemukan sebuah bukit. Waktu aku lihat kompasku bukit itu di arah selatan. Apa aku ke sana saja? Tapi mau apa?
“Ke sana sajalah, Pak. Bukit itu.”
“Tiga puluh ribu.”
Aduh, apes nasibku. Cuma tersisa lima belas ribu saja di kantongku. Aku tawar-tawar akhirnya. Rupanya si bapak tukang becak tak mau. Aku lihat mukanya agak memerah. Tiga puluh ribu aku tawar lima belas ribu, bathi apa?![ii] beliau menghardik.
“Tak punya uang tak usah tawar-tawar becak, jalan saja!”
Allah... aku dekapkan tanganku, meminta maaf dan segera berlalu. Ya sudahlah, aku cari masjid saja dulu. Sholat dhuhur dan istirahat sebentar. Kutemukan masjid tak seberapa besar setelah jalan beberapa ratus meter. Masjid Al-Amien namanya. Aku masuk. Ah, aku sandarkan punggungku pada tiang masjid dan kutaruh tasku di sampingnya. Alhamdulillah...
Aku tilik ke dalam, o, masih ada yang wiridan[iii] di dalam. Aku segera sholat sajalah. Dan selesai sholat dan wiridan aku keluar dan duduk-duduk di serambi. Ada kulihat koran di pojokan dekat kentongan[iv]. Aku baca sepertinya tak ada yang melarang. Kubuka-buka, ternyata koran hari ini. kutilik headline utamanya, tampaknya menarik. Sebentar aku baca, astaghfirullah....
Di suatu daerah di sana ada jemaah yang diserang karena sesat. Aku tahu karena pernah kubacai perihal jemaah itu, memang ada penyimpangan. Penyerangnya adalah kelompok-kelompok yang membawa nama “Islam”. Kok bisa?! Mana ada Islam menyerang. Bertahun-tahun bapak memberi wejangan, “Islam itu agama toleran, tidak ada pemaksaan, tidak ada kekerasan. Bergeraklah kita kaum muslim kalau memang terancam”. Pakde Mahmud bahkan menceritakan tentang Rosululloh saw yang sangat toleran dan tetap menjalankan strategi damai terhadap kaum yahudi Madinah yang membelot dan berkhianat.
Kubuka lagi dan di pojok kecil ada berita di daerah jauh lainnya ada organisasi Islam yang melakukan perusakan rumah ibadah jemaah yang dianggap sesat. Loh, kok begini lagi? Aku bacai lagi selanjutanya. Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah mengatasi perselisihan tapi tak kunjung membuahkan penyelesaian. Sudah ada instruksi pula agar massa tidak main hakim sendiri. Aduh, aduh, kok semuanya begini. Ada pemerintah kok tidak digubris. Mas Zazak dulu pernah bilang kalau pemerintah juga kacau makanya tidak ada yang menggubris.
“Assalamu’alaikum.”
Suaranya parau, berat terseret-seret tapi kesannya ramah. Aku kaget juga. Buyar lamunanku yang tadi-tadi itu. tengadahlah aku dan tampak di depanku sosok yang tadi wiridan di dalam. Cukup sepuh[v] dan air mukanya memang ramah. Beliau mesem[vi] padaku.
“Wa’alaikumsalam. Nuwun sewu Mbah, kula nunut ngaso.”[vii]
“Dari jauh, Nak?”
Beliau lalu duduk bersila di depanku. Aku ikut bersila.
“Nggih[viii]. Musafir Mbah, mau ke bukit yang di ujung barat sana itu.”
“O, begitu to. Mau apa ke sana?”
“Ah, tidak Mbah. Saya hanya berkelana, cari ilmu dan pengalaman. Saya tadi lihat bukit di sana itu sepertinya asri benar, ingin lihat-lihat.”
Kakek yang kelihatan ‘alim ini mengangguk-angguk dan mesem.
“Masih ada ya, anak muda seperti kamu. Disuruh nak?”
“Nggih, Mbah. Bapak yang menyuruh. Biar tambah ilmu, tambah wawasan. Kula manut mawon[ix].”
“Dari daerah mana, nak? Jauh ini rupanya.”
“Dari timur Mbah. Bocah ndesa[x] saya ini. Makanya disuruh safari biar tahu dunia luar.”
Sebentar kemudian kakek ini mengambil koran pula. Kami diam-diam sementara. Saling baca koran. Tapi lalu kakek menyahut lagi.
“Di sana, di bukit itu mbah ada kenalan. Di sana ada langgar[xi] sederhana tapi tak terurus karena marbotnya sudah meninggal. Kamu tak punya tujuan, bagaimana kalau mukim di situ saja?”
Aku kaget benar. tahu-tahu ditawari jadi marbot. Lalu safariku bagaimana kalau aku jadi marbot? Belum sempat aku berpikir dan belum pula habis kagetku, si kakek menambahinya.
“Katanya mau cari ilmu dan pengalaman, kan? Nanti di sana kalau kamu mau mengurus musholanya dan siap, tiap malam jum’at mbah akan tabligh di sana. Lumayan lama tidak diadakan tabligh di sana karena musholanya tak ada yang mengurus. Nanti mukimlah di mushola dan siangnya ikut kerja di sawah dengan kenalan mbah tadi. Bagaimana Nak? Mau?”
“Aduh, nuwun sewu mbah. Kok tiba-tiba sekali, saya kan belum....”
“Ayolah, Nak. Tampaknya kamu cukup taat agama, ya to... “
“Wah, kalau itu saya masih cethek[xii], Mbah.”
“Lah, makanya mbah tawari. Kan bisa ikut tablighnya nanti, tambah ilmu juga to. Ayolah, mbah ini minta tolong. Ah, siapa namamu, Nak?”
“Fulan, Mbah. Panggil saja begitu.”
“Nah, Fulan... kalau kamu mau itu akan sangat membantu sekali. Masyarakat sana pasti juga terbantu karena kamu.”
Alamaak, bingung benar aku. Tapi sebenarnya ada ingin juga. Baru kenal sudah ditawari begini. Alhamdulillah juga bila ada tempat mukim dan bisa kerja juga. Tholabul ilmi juga kalau memang akan ada tabligh di sana tiap malam jum’at.
“Baiklah, Mbah, saya terima. Tapi saya kan belum dikenal orang sana, jadi mungkin saya coba-coba dulu sebulan. Kalau orang sana merasa cocok dan saya juga cocok, saya teruskan di situ.”
Si kakek tersenyum. Lalu agak terkekeh sedikit. Memang ramah benar kakek ini. ‘Alim pula. Ya Allah semoga ada baiknya buat hamba-Mu ini, semoga Engkau lancarkan perkaraku. Amiin.
“Panggil aku Mbah Zen. Nah setelah jama’ah Ashar, ikutlah sebentar ke rumah mbah. Nanti kupinjami sepeda, ke sanalah dengan itu. Nama desanya Sokalima, temui Kaji[xiii] Cahyo. Bilang saja kamu disuruh mbah Zen jadi marbot.”
*****
Jam tangan menunjuk pukul 5.35, sudah petang dan di sana-sini ada kudengar adzan. Sokalima ternyata lumayan jauh juga. Benar saja bukitnya terlihat kecil. Dan desanya memang asri, berbeda dengan di Sukoarjo tadi. Eh, apa benar nama daerah tadi Sukoarjo ya? Itu kan nama kecamatannya. Ah, masa bodohlah, nanti juga tahu sendiri.
Nama suraunya Ar-Royyan. Seperti nama pintu surga yang dipersembahkan khusus buat muslim yang rajin puasa. Melihat asrinya Sokalima ini, memang tepat betul jika suraunya dinamai begitu. Kata Mbah Zen tadi suraunya agak di pinggir desa, dekat sungai kecil. Aku ke sana saja dulu, sholat Maghrib dulu baru mencari rumahnya Pak Kaji Cahyo.
Aku tanya-tanya ketemulah surau itu. Dari kejauhan tampak bagus terbuat seluruhnya dari bambu. Di sampingnya ada kali kecilnya, bening airnya. Waktu kusandarkan sepeda dan mencari-cari barulah aku sadar kalau Ar-Royyan tak punya padasan[xiv]. O, ternyata wudhunya di kali kecil itu.
Masuk serambinya aku rasai kakiku terasa berdebu. Ternyata memang surau ini jarang di urus. Semua kukelilingi dan kudapati debu berdaki-daki. Allah... kuambil sajadah dari tas dan mengebaskannya ke lantai sesaat. Lampunya sudah mati.
Aku edarkan pandang ke setiap sudut. Benar-benar tak terurus. Kutilik pintu masuk ke ruang utama, sudah reot ternyata. Wah, lumayan kerja keras ini. Allah, aku niati saja ibadah. Puas meninjau surau aku bergegas menuju rumah Pak Haji Cahyo. Meminta izin dan menyampaikan pesan Mbah Zen.
*****
Alhamdulillah, ternyata Kaji Cahyo orangnya seramah Mbah Zen. Setelah beramah tamah dan menyampaikan maksudku, dapatlah aku di kamar ini. Kaji Cahyo senang sekali ada yang mau jadi marbot Ar-Royyan. Dan ternyatalah beliau seorang kasun[xv]. Disuruhnya aku menginap barang beberapa hari selama mengurus perbaikan surau. Alhamdulillah...
“Assalamu’alaikum.”
Allah, kaget aku. Ada suara lembut menyalami dan pintu kamar terketuk.
“Wa’alaikumsalam.”
Kubuka pintu, dan...Subhanalloh...
“Maaf Mas, aku disuruh Abah membawakan mi goreng buat sampean.”
“I..iya, matur nuwun. Sini bi..biar aku bawa sendiri.”
“Oh, iya Mas, ini.”
Rasa-rasanya kaku tangan ini. Bibir juga, lidah kelu. Subhanalloh..
“Ah, kenalkan, aku Ayra.”
Terpakulah aku serupa patung. Ayra dia bilang, namanyakah itu... Ah, tentu itu. Ia mengangguk anggun. Dan berbalik.
“Ah, Ay...”
“E.. iya. Mas panggil aku?”
“Fulan.. itu namaku. Panggil saja begitu.”
Ayra berbalik lagi. Detik-detik berdetak amat kerasnya. Atau jantungku yang berdentum itu. Ah.. Subhanalloh. Macam bidadari surga Firdaus. Jalannya pelan berirama. Lalu berlalulah ia, hilang ditelan pintu dapur. Barulah saat itu aku terkesiap. Segera aku tutup lagi pintu kamar. Kuletakkan nampan di meja. Ada kudengar adzan Isya’ dari jauh sana, bukan dari Ar-Royyan. Kugelar sajadahku. Kutunaikan sholat dan bersimpuh aku berdoa.
“Alhamdulillah Ya Allah. Engkau memberiku hari yang baik, dan semoga begitulah setrusnya. Bimbinglah aku Ya Allah. Semoga dapat kutunaikan amanah ini. Aku niatkan untuk beribadah pada-Mu dan tholabul ilmi karena-Mu. Untuk Ibu-Bapakku senantiasalah Engkau beri keselamatan. Dan akumohon hidayah-Mu.”
Lalu kukeluarkan radio pemberian Mas Zazak. Kuputar switch on, penyesuaian tuning, dan lagu-lagu melayu ala Bang Haji Rhoma Irama mengalun. Ah, selalu saja indah nian.
Depok, 20 Februari 2011
sebuah cerpen untuk membuka blog baru di : http://surau-kang-fulan.blogspot.com/. dan sebuah perkenalan untuk tokoh Kang Fulan yang akan menemani cangkrukan di Surau Bambu Pinggir Kali.
[iv] Sepotong bambu yang dilubangi. Biasa dipukul untuk menandakan tibanya waktu sholat. Atau bila ditaruh di gardu desa menjadi semacam alarm keamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar