.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Senin, 29 Maret 2010

UN dan Kejahatan Nasional

Hari Ahad 28 Maret 2010 lalu, saya agak mangkel karena tidak jadi ke Madiun. Rencana saya ke Madiun sebenarnya hanyalah sekadar mencari pasar loak yang menjual buku-buku lawas dengan harga murah. Akhirnya untuk mengusir jenuh saya menyuruh adik saya untuk membeli koran. Lagipula saya sudah lama tak baca koran atau nonton TV, jadi agak blank rasanya. Otak saya ini perlu di brainstorming lagi. Tapi saya agak kecewa karena salah satu headline koran yang membahas kasus korupsi Gayus Tambunan. Duh, siapa lagi ini? Korupsi kok ndak waleh-waleh. Mbok ya cari topik lain yang lebih fresh. Aduh kok jadi ngelantur ya, padahal saya mau ngajak pembaca sekalian ngobrol soal UN. Sebenarnya ini juga topik basi, tapi berhubung saya baru saja menjalaninya, tak apalah sedikit berkomentar.

Sebenarnya tulisan saya ini lebih tepat dikatakan sebagai sebuah tanggapan. Lewat tulisan ini saya mau menanggapi quote-nya Pak Imam B. Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia. Judul tulisan ini pun saya buat agak mirip-mirip sedikit. Bukannya mau plagiat, soalnya setelah saya uteg-uteg, ya cuma judul di atas itu yang pas.

. To the point, Pak Imam khawatir pelaksanaan UN lebih banyak menimbulkan efek negatif daripada manfaat. Khususnya terkait pembentukan kualitas mental peserta didik. Sedikit saya tambahkan, hal ini jika pemerintah terus mempertahankan sistem yang sekarang ini.

Mengapa? Aduh, kalau ditanya seperti itu jawabannya bisa panjang, ndak cukup saya tulis selembar dua lembar. Tapi akan saya kemukakan salah satu sebabnya, dari sudut pandang saya sebgai seorang pelajar. Kita semua tentu tahu sistem kurikulum yang diterapkan di sekolah saat ini, KTSP. Dan seperti KBK, sistem KTSP (katanya) tetap mengedepankan aspek kompetensi peserta didik. di sini tentu saja proses belajar adalah patokannya, bukan hasil akhir. Itu juga berarti bukan hanya aspek kognitif saja yang jadi pertimbangan. Percuma dong di rapor ada kolom nilai psikomotor dan afektif kalau ternyata tidak ada gunanya. Buang-buang tinta pula. Lalu apa pula gunanya para guru mengadakan ujian sekolah dan ujian praktek kalau hanya dijadikan sebagai “dekorasi” ijazah. Dan secara pragmatis UN hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Ini ndak kongkret namanya!

Pak Imam mengatakan begini, “Ini sistem yang bisa menciptakan mentalitas by pas, jalan pintas, short cut”. Saya yakin pembaca sekalian yang saat ini masih berstatus pelajar SMP/MTs, SMA/MA, dan pembaca-pembaca sekalian yang pernah merasakan yang namanya UN mengetahui realitas sebenarnya di institusi sekolah. Tentunya anda sekalian tahu seperti apa beban seorang pelajar yang akan menempuh UN. Sejak semester awal masuk jenjang kelas terakhir, barangkali sebagian pembaca telah disuguhi jadwal bimbingan belajar (bimbel). Sekolah sejak pukul 07.00 dan baru pulang pukul 15.30 atau bahkan lebih malam lagi. Tiap hari tak bosan-bosannya menelaah materi-materi pelajaran yang di-UN-kan. Ironisnya (dan ini sudah jadi rahasia umum), ketika UN tiba secara naluriah sebagian siswa akan menghalalkan segala cara untuk “sekadar” mengisi LJUN. Kita jadi tidak sungkan lagi mencontek atau bahkan mencari bocoran jawaban untuk mengejar kelulusan. Ada pula kasus pembocoran jawaban yang oknum-oknumnya justeru para guru sendiri. Lalu apa perlunya belajar selama ini? Tidak perlu malu-malu, saya pun mengalaminya. Namun kita semua tidak bisa serta merta menghakimi para pelajar atau guru yang melakukan itu semua. Kita sebagai pelajar dan para guru adalah korban sistem yang pragmatis! Sejak awal kita telah dijerumuskan secara sistemik.

Sebenarnya ada dampak laten UN lain yang selalu menimpa para guru di sekolah. Biasanya bila telah mendekati beberapa minggu menjelang UN, pihak sekolah akan mengeluarkan kebijakan untuk lebih mengintensifkan mapel-mapel UN. Di sadari atau tidak hal ini telah menumbulkan kesenjangan antara guru mapel UN dan guru mapel non-UN. kita cenderung lebih memfokuskan diri mempelajari materi UN. Lalu, sekali lagi, sadar atau tidak kita jadi menomor duakan pelajaran non-UN. Itu realitasnya.

Mau yang lain? Nah, yang ini malah lebih gawat lagi, sinisme antar sekolah. Ini karena sistem randomisasi pengawas. Ketika salah seorang pengawas dari sekolah A, misalnya, dinilai terlalu ketat dalam mengawasi sekolah B, akibatnya bisa turun-temurun. Teman-teman pelajar sekolah B akan komplain kepada panitia ujian dan jika tidak disikapi secara baik, bisa runyam urusannya. Pengawas-pengawas dari sekolah A untuk tahundepan pasti akan dilabeli “kejam”. Lebih luas lagi, sekolah A bisa saja terkucilkan. Atau mungkin guru-guru sekolah B ketika mengawasi sekolah A akan “membalas” perlakuan pengawas sekolah A pada siswa-siswanya. Kompleks sekali, bukan?

Semua yang saya kemukakan bukan hanya sekadar gosip. Semua ini telah terjadi secara periodik, cakupannya bukan hanya di sekolah-sekolah tertentu saja, bisa saja seluruh Indonesia! Kita ndak bisa merem terus dan bersikap “mboh karepmu”. Ini kejahatan nasional namanya! Mau jadi apa generasi kita kalau seperti ini. “Siapkah kita dipimpin oleh generasi yang untuk lulus sekolah saja harus tidak jujur?”, tulis seorang guru MTs saya di sebuah artikel. Sekali lagi ndak usah isin-isinan, saya sendiri pun mengalami dan merasakannya juga.

Katanya para sesepuh penulis, ndak ilok ngelek-ngelek terus tanpa ngasih solusi. Nah biar ndak disangka sok tahu, saya juga akan sedikit ngomong soal solusi. Yang pertama, hapuskan UN atau jika tidak mau dihapus, evaluasi sistem UN secara besar-besaran. Sudah waktunya sistem pelaksanaan UN dirombak total. Dan solusi kedua, penentu lulus tidaknya seorang siswa jangan hanya dari UN saja. Bisa juga penentuan lulus itu jadi hak prerogatif sekolah. Selama ini yang tahu progres-nya peserta didik adalah sekolah (terutama sekali para guru) bukan UN. Tapi bukannya sekolah punya hak istimewa, tetap harus ada standar dari pusat. Jadi, Depdiknas yang buat standarisasinya, sosialisasi ke sekolah-sekolah, dan sekolah melaksanakan standar itu dengan pengawasan Dinas Pendidikan setempat. Saya rasa itu bukanlah hal yang terlalu idealis atau mustahil. Masalahnya, mau ndak kita berbuat?
Wassalamu’alaikum.

Mandalawangi, 29 Maret 2010

1 komentar:

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.