.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Senin, 22 Maret 2010

blue

Kalau aku ini tak punya nasionalisme yang kuat, sudah sejak lama aku pergi ke Jepang. Aku sudah muak meringkuk di sini. Orang-orang Indonesia adalah tipikal orang-orang yang tidak efisien. Dan kini aku harus meringkuk di peron sialan ini gara-gara bangsaku sendiri. Di tempat pembelian karcis aku lihat jadwal keberangkatan yang tersusun sangat rapi dan tampak sangat profesional. Lagipula aku bukan penderita rabun dekat, sehingga dengan jelas dapat kubaca jam keberangkatan kereta tujuan Jakarta. 15.15. itu berarti sudah satu jam aku duduk tanpa alasan di peron sialan ini.
Kebosanan tiada tara ini telah memeras habis isi dadaku. Setiap oksigen yang kuhirup adalah racun. Ia masuk ke paru-paru dan di alveolus oksigen itu dibagi-bagi kepada para trombosit. Trombosit yang pekerja keras itu akan mengangkut racun-racun itu hingga setiap sel di tubuhku ini. Dan habislah tubuhku ini diracuni dendam tak terperi kepada orang melayu, nenek moyang bangsa Indonesia. Pandai benar mereka itu bersilat lidah. Mereka wariskan mantra suci untuk cucu-cucu mereka yang malas. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Dan jika mengingat kalau aku ini adalah keturunan jawa tulen, rasanya ingin kumaki si Ronggowarsito itu. Dia itu Pujangga Pamungkas, penyair terakhir suku jawa. Tapi mengapa dia tidak punya inisiatif untuk mnghapus jargon “Alon-alon waton kelakon” dari kamus orang jawa. Bagiku merekalah biang kerok semua ketidak efisienan ini. Dan aku, sebagai generasi penerus yang tak tahu apa-apa harus rela menjadi korban mantra suci itu. Aku muak.
Dan entah sudah berapa kali aku berganti posisi duduk. Sebenarnya bisa saja aku melewati detik-detik membosankan ini dengan makan cemilan buatan ibuku. Hanya saja aku telah bersumpah untuk memakan cemilan cinta ibu itu nanti saat di dalam kereta. Akhirnya aku hanya bisa menerawang sekeliling. Memerhatikan setiap gerak manusia-manusia yang sama terpuruknya denganku. Tapi setidaknya tak seberapa jauh dari tempatku duduk ada seorang ibu muda bersama anaknya. Kukira usianya baru sekitar satu setengah sampai dua tahunan. Tingkahnya yang lucu itu sedikit bisa membuatku tersenyum. Yah, cuma sedikit saja. Lalu untuk kesekian kalinya aku melirik jam tangan Swiss Army pemberian kakekku, 16.00. Bangsat!
“Korannya Mas…”
Seseorang dari arah belakang datang padaku. Dan sebuah koran terulur padaku. Daripada koran yang diulurkannya padaku, aku lebih tertarik pada lengan orang itu. Coklat gelap dengan urat-urat yang cukup tampak. Mataku menelususri setiap jengkal kulit coklat gelapnya. Terus kuperhatikan hingga wajah orang itu. Dari wajahnya pandanganku terus turun hingga berhenti pada sanda jepit merah merek Swallow yang sudah tipis. Secara keseluruhan seperti inilah orang itu : tinggi sekitar 165cm, muka tirus dengan ramput ikal, tentu saja kulinya berwarna coklat gelap, perawakannya ceking dengan kaos polo yang tampak agak kebesaran, memakai celana cutbrai abu-abu mirip seragam SMA, dan sandal jepit merah merek Swallow yang sudah tipis. Setidaknya orang ini, atau lebih tepatnya pemuda ini, seumuran denganku. Dan mengingatkanku pada seseorang.
“Korannya Mas…”
“Eh, iya, yang Jawa Pos saja Mas, ada?”
“O, ada.”
Pemuda berkulit coklat gelap ini mengambilkanku koran yang kuminta. Mengulurkannya padaku. Aku rasa ia tersenyum. Ramah.
“Ini Mas, tiga ribu saja. Harga sore.”
Aku ambil uang di saku dan langsung menyerahkannya pada pemuda berkulit coklat gelap ini. Saat itulah aku rasakan tangannya yang kasar dan kering. Seperti tangan seseorang yang begitu kukenal sebelumnya.
“Terima Kasih.”
Ia tersenyum dan segera pergi. Cara jalannya mantap. Agaknya ia telah kenyang hari ini. Dan sampai ia berbelok ke peron bagian dalam, mataku tak samapai hati melepasnya. Ada sesuatu yang terjadi di peron terkutuk ini. Semuanya jadi serba samar. Aku merasakan kalau waktu berputar cepat membawaku pada koridor-koridor kelas MA al Hidayah. Dan pemuda berkulit coklat itu muncul lagi. Tapi kali ini rambutnya lurus dan kulitnya sawo matang. Hanya perawakannya yang tetap. Ia berdiri di depan kelas, menghadap pemuda-pemudi lain di depannya. Di papan tulis kelas itu tertulis coretan-coretan perhitungan integral yang tak pernah bisa aku selesaikan walau hanya satu soal. Tidak seperti suara pemuda berkulit coklat tadi yang kurasa tenor, suara pemuda yang satu ini alto dengan aksen yng khas. Dahana sedang menerangkan hasil perhitungan integralnya di depan anggota Klub Matematika.
Kata-katanya lancar dengan aksen Jawa yang khas. Sesekali ia melontarkan senyuman yang sejak pertama kali kulihat tidak pernah manis. Anggota klub mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Dahana. Dan setiap pertanyaan yang dilontarkan untuknya, ia jawab dengan sangat antusias. Bagiku ia adalah Profesor John Nash yang jenius sedang menerangkan teorinya dihadapan mahasiswa jurusan matematika di Princeton Univercity.
“Baik teman-teman, waktu habis dan kita harus segera pulang. Terima kasih atas partisipasinya. Wassalamu’alaikum.”
Itulah kata-kata khasnya setiap mengakhiri presentasi. Selalu begitu. Dahana keluar duluan dan berjalan cepat ke arah halaman tengah. Di sana aku lihat diriku dengan seragam lengkap duduk sambil membaca buku. Dahana memanggilku dan melambaikan tangan.
“Angka-angka membosankan lagi ya?”
“Aku rasa memperkirakan umur sebuah artefak kuno lebih membosankan daripada sekadar angka-angkaku.”
“Ahh, terserahlah…”
Lalu kami tertawa. Dahana selalu lebih keras.
“Siap untuk kerja, Boi.”
“Kali ini akulah yang kan mencuci piring lebih banyak.”
“Tapi akulah yang mencuci paling bersih.”
Lagi-lagi sekelilingku jadi samar. Dan aku rasakan sensasi yang cepat. Waktu lagi-lagi mengajakku ke sebuah tempat yang sangat kukenal. Bangunan ini mirip balai desa. Letaknya di bagian belakang sekolah dan berhadapan dengan lapangan basket. Tempat yang sangat cocok untuk membolos. Apalagi di tempat inilah dijual menu paling enak dan paling merakyat untuk ukuran anak sekolahan. Tempe penyet.cukup dengan uang Rp 2.500 kau sudah bisa merasakan warisan kuliner paling mantap di seluruh Pulau Jawa. Dan di bangku pojok ada sekumpulan pemuda sedang makan sambil ngobrol. Lima pemuda yang berkenalan secara tak sengaja saat masa orientasi siswa. Itulah Aku, Dahana, Lantang, Udin, dan Idhan.
Aku, Udin, dan Dahana adalah pecinta tempe penyet sejati. Sementara Lantang lebih percaya pada soto ayam. Sedangakan Idhan adalah omnivora paling rakus diantara kami berlima. Namun begitu, Idhan adalah sebuah ironi paling mnyedihkan di jagad raya. Katakanlah ia bisa menghabiskan tiga bungkus nasi pecel sekali duduk, tapi kenyataannya Idhan adalah yang paling kurus diantara kami berlima. Menyedihkan. Dan saat itu kami makan dengan lahap sambil ngobrol seperti biasanya. Lalu Lantang menggebrak meja.
“Kita tak bisa diam saja, Boi! Ini sudah keterlaluan. Uang pungutan tiap bulan sangat tidak relevan. Dan lagi alokasinya tak jelas. Jelas ini konspirasi!”
Seperti namanya, Lantang, ia adalah pemilik suara paling keras diantara kami berlima. Dibandingkan siapapun, Lantang adalah organisator paling energik di seluruh sekolah ini. Bahkan ia lebih tidak bisa diam dari pada Ali yang ketua OSIS. Biarpun Lantang itu sulit diatur, aku berani memberi jaminan padanya. Mau mengadakan acara apapun, jadikanlah Lantang sebagai ketua pelaksana. Pasti acara itu akan jadi acara terheboh yang pernah ada di Bumi.
“Ini revolusi, Boi!”
Itulah sabda paling ampuh dari mulut Lantang. Sebulan kemudian, apa yang di sabdakannya terjadi. Matahari teriknya bukan buatan saat kami berlima bersama 1029 siswa MA al Hidayah melakukan long march ke kantor DPRD Kota Kediri. Benar kata Lantang, pungutan sekolah telah melampaui batas kewajaran. Tapi kami bukanlah penggerak. Hanya sekadar orang di balik layar saja. Semua ini terjadi karena Ali, ketua OSIS MA al Hidayah yang pendiam dan revolusioner. Meski tak terbukti ada korupsi, tapi kami yakin, al Hidayah butuh reformasi. Dan kami telah berhasil. Seluruh siswa telah di satukan oleh semangat yang sama. Sungguh mereka adalah kawan-kawan yang luar biasa.
Semuanya kembali memudar. Sesaat kemudian sampailah aku di depan aula. Aku lihat diriku duduk bersama seseorang. Aku sedang berdiskusi dengan Pak Shodiq. Bagiku dia adalah guru yang tak biasa. Selalu tersenyum kepada siapa saja. Dari beliaulah aku dapatkan materi sejarah yang tak akan pernah diajarkan di sekolah setingkat SMA, karena memang itu hanya diajarkan di bangku kuliah.
“Tidak harus jadi seseorang yang punya pengaruh besar. Asalkan kau punya kepribadian dan lakukanlah sesuai hati nuranimu. Lagipula kau punya bakat menulis. Itu sudah lebih dari cukup untuk merubah keadaan, Nak.”
“Apa saya bisa, Pak?”
“E, jangan salah. Sekarang kamu bolehlah dikatai orang tulisanmu kurang bermutu. Tapi jangan diam, teruslah menulis. Apa saja tulislah. Nanti akan tampak siapa kamu. Biar dianggap tsedikit artinya tapi kamu telah berbuat. Tak usah kamu pedulikan apa kata orang.”
Aku magut-magut saja. Tak ada orang yang mendorongku untuk terus menulis sebelumnya. Tapi orang ini, terus mendorongku menulis. Selalu menarik mendiskusikan sesuatu dengan Pak Shodiq. Beliau yang mengajariku melihar sejarah bukan dari sudut formal seperti yang tertulis dalam buku pelajaran.
“Siapa yang membuat sejarah? Manusia kan? Jadi sejarah bukan cuma soal ‘apa’ dan ‘bagaimana’. Ini soal manusianya, Nak. Manusia itu unik, itulah yang membuat sejarah selalu penuh kemungkinan. Bicara sejarah adalah bicara soal manusia, bukan sekadar cerita sebab-akibat atau soal artefak kuno, tapi juga soal hati.”
Begitu kata beliau padaku. Aku sangat yakin, kau tak akan menemukan kata-kata beliau di buku pengantar ilmu sejarah manapun.
Tiba-tiba saja aku telah berada kembali di koridor sekolah kuno itu. Atau lebih tepatnya aku berada di depan kelas 2 IPA 1. kelas paling keramat di seluruh MA al Hidaya, setidaknya itu menurutku sendiri. Aku tak bicara soal kelas yang dihuni jin atau arwah penasaran yang gentayangan. Juga bukan soal mitos-mitos aneh yang bersifat klenik, sama sekali bukan. Kelas ini sangat keramat buatku karena seseorang yang sedang duduk manis di dalamnya. Seorang perempuan. Aku melihat didiri di sudut koridor seberang yang sejajar dengan kelas ini. Meringkuk di sana memandangai kelas ini. Aku tersenyum melihat kelakuanku. Hanya memandang dari jauh saja adalah anugerah, pikirku waktu itu.
Sekejap kemudian perempuan manis itu keluar dan berjalan ke arahku. Betapa terkejutnya aku. tanpa pikir panjang ku sembunyikan diriku di balik pintu koridor yang merupakan jalan ke tempat parkir. Aku jadi salah tingkah. Gugup sekali. Lalu dari belakang…
“Hei, Boi!”
Dasar sial. Jantungku tak berdetak sepersekian detik gara-gara suara yang mengagetkan itu. Dan secara reflek aku tersungkur ke depan, jatuh tepat di depan pintu koridor. Napasku megap-megap. Dan aku tambah jantungan lagi karena tepat di depanku aku melihat sesosok kaki bersepatu. Aku mendongakkan wajah dan melihat siapa gerangan pemilik kaki bersepatu itu. Begitu tahu siapa pemilik sepatu itu, aku terjengkang ke belakang.
“Ha…ha… ha. Kau ini kenapa Boi! Macam orang melihat setan saja.”
Ternyata dahanalah biang keladi semua ini. Dan kini ia malah tertawa. Aku jadi tambah tak keruan. Perempuan di depanku tersenyum. Sejenak aku pikir senyumnya sangat manis. Dan wajahku merah padam gara-gara ini.
“Han, bagaimana sih kau ini. Seenaknya saja mengerjai teman sendiri. Tolong dia!”
Dengan tawa yang tak juga berhenti Dahana menolongku berdiri. Perempuan itu melangkah ke tempat parkir sepeda. Dahana tetap saja tertawa. Lalu ia tepuk pundakku.
“Ah kau ini, Boi.”
Tanpa ku sadari, aku telah berada kembali di peron busuk tak terperi ini. Semua kejadian-kejadian tadi terasa sangat nyata. Dan memang baru saja berakhir kira-kira 3 bulan yang lalu. Tapi semua itu terasa sangat dekat. Aku menghela napas sejenak dan menunduk. Aku sangat sadar sekarang. Aku telah meringkuk sendiri di sini tanpa teman-teman karibku. Haah! Mengapa aku jadi cengeng begini.
Aku buka tas ranselku dan mengeluarkan sebuah buku. Buku catatan harianku. Ini buku baru, yang sebelumnya hilang entah kemana. Untung saja foto itu masih ada. Fotoku, Dahana, Lantang, Idhan, dan Naas. Mereka jauh pergi dahulu. Lantang, telah pergi tanah kelahirannya, Sulawesi. Belajar politik di Universitas Hasanudin. Idhan dan Naas sama sama ke Surabaya. Mereka berdua diterima di fakultas ekonomi. Itulah tempat yang cocok untuk mereka berdua yang memang punya nafsu makan di atas rata-rata. Dan Dahana, yang paling pendiam diantara kami. Ia telah jauh pergi melebihi kami berempat. Dan ia hanya menyisakan kenangan yang tak mungkin kami lupakan. Ia telah jauh pergi menemui ayah ibunya. Ke surga.
Saat itu kami berlima sedang dalam perjalanan backpacker ke Gunung Ijen. Hari itu sudah malam dan kami baru saja turun dari pickup tumpangan. Kami baru saja sampai di Bondowoso. Kami tak punya kenalan di kota ini, jadi kami putuskan untuk tidur di sebuah masjid. Tapi sialnya ta’mir masjid terdekat yang kami datangai tidak memperbolehkan kami menginap di masjid itu. Terpaksa kami tidur di emperan sebuah toko elektronik. Toko itu terletak tak jauh dari sebuah perempatan yang jadi tempat mangkal komunitas punk.
“Hati-hati terhadap barang-barang kita. Dari tadi aku lihat anak-anak punk itu memperhatikan kita.”
Lantang memperingatkan kami. Dan untuk keamanan kami tidur dengan tetap mengenakan ransel kami. Lalu terjadilah peristiwa itu. Saat itu sudah tengah malam dan jalanan sudah sepi. Kami semua telah tertidur pulas karena kelelahan. Tiba-tiba Lantang berteriak dan kami semua terbangun karena kaget.
“Hoi, mau apa kalian!”
Aku, Dahana, dan Idhan langsung terbangun. Dan betapa kagetnya kami saat tahu ada tujuh anak punk mengelilingi kami. Dan salah satu dari mereka mencoba mengambil ransel Naas yang agak terlepas darinya. Naas yang jadi sasaran pun kaget dan langsung berdiri. Anak punk itu memukul tepat di rahang Naas hingga ia tejengkang ke belakang dan tasnya terlepas. Lantang langsung bereaksi dengan memukul anak itu dengan batu. Tapi sialnya ia malah dikeroyok tiga nak punk lain. Kami pun tak tinggal diam kami melawan tiga anak punk lainnya. Naas mencoba membantu Lantang yang dikeroyok, sayangnya ai pun jatuh dengan luka lebam di pipinya. Lantangpun jatuh mengerang kesakitan memegangi perutnya. Darah segar mengalir dari mulutnya. Aku, Dahana, dan Idhan menghadapi situasi sulit. Kami kalah jumlah. Enam melawan tiga. kami pun sudah menerima beberapa pukulan telak. Dan anak punk yang tadi dipukul batu oleh Lantang sudah bangun lagi.
“Sudah pergi saja. Kita sudah dapat satu.”
Mereka bertujuh lalu berbalik lari. Mereka pikir tak ada untungnya melawan kami, toh mereka sudah dapat satu buruan. Naas Idhan langsung menghampiri Naas dan Lantang yang masih mengerang kesakitan. Aku berbalik dan membantu kedua temanku. Tapi Dahana tetap berdiri dengan tangan terkepal. Tak kami sangka Dahana malah berlari mengejar gerombolan punk itu.
“Han, jangan…!”
Aku berlari mengejar Dahana. Cepat sekali larinya. Dan Dahana berhasil merenggut kaos anak punk yang paling belakang. Dahana memukulnya dari belakang. Tapi sesuatu yang tidak pernah kusangka terjadi. Anak punk itu justeru berbalik dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Pisau lipat!
“Han awaaas!”
Kupercepat lariku. Tapi sayang aku gagal. Aku dengar erangan Dahana. Sejenak aku berhenti, aku benar-benar tak percaya dengan semua ini. Anak punk itu menusukkan pisau lipatnya ke ulu hati Dahana dan menariknya kembali dengan paksa. Dahana langsung terjerembab ke tanah dan terkulai. Anak punk itu segera lari secepat mungkin.
“Haan!”
Aku berlari menghampiri Dahana yang mengerang-erang menahan sakit. Aku dekap Dahana karena ia mulai kejang.
“Han, tenang Han!”
Untunglah sebuah taksi berhenti tepat di samping kami.
“Ada apa Dik? Temanmu terluka itu! Ayo cepat masuk saja bawa ke rumah sakit.”
Sopir taksi itu membantuku membopong Dahana yang mulai kejang. Ia mulai terlihat pucat.
“Cepat pak!”
“Ya, ya …”
“Han, bertahanlah dan coba tenangkan dirimu.”
Tangan Dahana gemetar hebat. Mukanya tambah pucat. Tapi entah mengapa sekilas kulihat ia malah tersenyum. Getir sekali rasanya .
“Boi…”
“Diam! Jangan banyak bicara.”
Dan semuanya berubah muram. Tak terasa mataku sembab. Aku masukkan lagi foto dan catatan harianku ke dalam ransel. Semua ini terasa begitu cepat. Saat ini aku dapati diriku yang akan segera berangkat ke Jakarta. Aku diterima di Universitas Indonesia, jurusan sejarah. Dan kenangan-kenangan yang kuingat rasanya masih begitu dekat. MA al Hidayah, kantin belakang, lapangan basket, Dahana, Lantang, Idhan, Naas, kelas IPA 1, Ali, demonstrasi. Semuanya seperti terus berputar-putar dalam kepalaku saat ini. Aku pikir jadi cengeng sambil menunggu kereta tak ada salahnya juga. Toh aku juga manusia biasa. Mataku sembab.
Aku melirik jam tangan Swiss armyku. Pukul 16.15. Yah, lebih baik sekalian tak usah datang saja. Dasar kereta busuk! Aku sudah benar-benar muak. Telah hampir satu setengah jam aku menunggu. Aku berdiri karena lelah duduk. aku perhatikan sekeliling. Nothing special. Semuanya juga serba murung. Mengapa saat-saat seperti ini justeru aku harus murung. Aku butuh semangat sekarang! Sangat tidak keren tiba di Jakarta dengan muka lesu.
“Perhatian untuk para calon penumpang sekalian. Kereta tujuan Jakarta akan segera tiba di jalur dua. Bersiap dan semoga perjalanan anda menyenangkan.”
Bah! Mengapa tidak dari satu jam yang lalu pengumuman ini berbunyi. Alhamdulillah, akhirnya berangkat juga. Setidaknya setengah rasa muakku mengup. Lihat dirimu Boi! Kau akan segera ke Jakarta! Ibukota Indonesia. Nanti kau bisa mampir ke rumahnya pak Presiden. Ha… ha… ha… dasar!
Segera ku rapikan pakaianku. Aku atur ulang barang-barang bawaanku. Ransel, tas jinjing berisi aneka cemilan buatan ibu, dan satu kardus berisi buku-buku dan peralatan tulis. Lengkap sudah semuanya. Sayang sekali ibu dan bapak tak bisa melambaikan tangan mengantar keberangkatanku. Mereka sedang ke Blitar mengunjungi nenekku yang sakit. Tak apalah, yang penting aku membawa restu mereka. Aku tak perlu ke mana-mana karena jalur dua tepat berada di depan tempatku meringkuk menunggu.
Dari kejauhan aku lihat lampu kereta yang menyala. Suara belnya cukup keras sehingga bisa terdengar dari sini. Aku lihat kelangit yang sejak tadi sudah agak mendung dan sekarang telah berubah gerimis. I feel so blue, so nice. Kereta yang melintas di depanku menimbulkan sensasi sejuk karena angin terkoyak dan menghembus menerpa wajahku. Tapi agak dingin gara-gara gerimis. Aku akan ke Jakarta, kuliah di UI! Aku dengar derit roda besi kereta api yang mengerem dan menimbulkan percikan api. Terasa sayu rasanya akan segera meninggalkan kota kelahiranku. Meninggalkan kenangan-kenangan indah 3 tahun di MA al Hidayah.
“Para calon penumpang sekalian di perkenankan memasuki kereta. Harap berhati-hati.”
Ya aku sudah tahu. Aku kenakan tas ransel yang telah menemaniku beberapa kali naik gunung. Tas jinjing ibuku aku cangklong di tangan kiri. Sepi rasanya, tak ada yang mengantarku. Entah mengapa aku tak ingin segera masuk ke gerbong. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Semua orang telah bergerak. Kalau tak segera masuk bisa-bisa aku tak dapat tempat duduk. tapi entah mengapa aku tak ingin segera masuk. Dan sejenak aku mendengar seseorang memanggil namaku dari belakang. Suaranya lembut dan sangat kukenal.
“Fa…”
Aku hanya menoleh. Dan suara itu hilang. Aku menggeleng. Hanya perasaanku saja barangkali.
“Fafa…!”
Hei, suara ini! Jelas ini bukan hanya perasaanku. Agak gemetar aku memutar badanku ke belakang. Seorang perempuan berkerudung merah, baju merah muda, dan rok panjang keunguan. Subhanalloh…
“Ay…!”
“Fafa…”
Tapi bukankah ia sudah di Surabaya sekitar dua minggu yang lalu. Aku benar-benar tak menyangka. Apa ini yang di sebut keajaiban?
Ia melambai kepadaku. Dan dua pemuda di belakangnya. Satu kurus satu lagi berambut ikal. Idhan dan Naas. Dan Bukankah mereka juga telah seminggu yang lalu ke Surabaya.
“sedikit kejutan dari kami Boi…!”
Aku tak bisa mengatupkan bibirku. Perempuan itu, Ayra Asyifa. Perempuan yang membuatku gugup setengah mati jika berpapasan dengannya walau itu terjadi berkali-kali. Ay… dia datang ke sini. Dari Surabaya. Aku tatap wajahnya yang tersenyum dan air mata menetes di pipinya. Aku benar-benar tak percaya ini semua. Aku beranikan diri melangkah menghampiri Ayra, Idhan, dan Naas. Langkahku gemetar. Aku berhenti tepat di depan Ayra yang tersenyum sambil menitikkan air mata. Idhan dan Naas tersenyum di belakang sana.
“Ay, ka, ka, kamu datang…”
“Iya Fafa. Buat kamu.”
“Hei, benarkah?”
“Iya, tadi pagi dua temanmu ini datang ke tempat kostku. Mereka bilang kamu akan berangkat ke Jakarta sore ini.”
“Kami tahu dari adikmu, Boi.”
“Sekalian saja aku meminta mereka mengantarku dari Surabaya ke sini.”
Kata-katanya agak terbata-bata.
“Ini aku kembalikan.”
Ayra menyerahkan buku bersampul hujau tosca yang sangat-sangat kukenal.
“Buku harianku… ta, tapi bagaimana bisa..?”
“Dahana yang yang memberikannya padaku. Aku sudah baca semuanya. Termasuk surat buatku yang terselip di dalamnya… kata Dahana kamu ingin memberikan surat itu kepadaku suatu saat. Dahana bilang ingin sedikit membantu kamu.”
Dahana! Dari mana dia tahu. Aku benar-benar tak mengerti semua ini. Tapi terima kasih kawan.
“Aku sudah tahu semuanya.”
“Ay…. Ini,ini… aku minta maaf atas semua ini. A...”
“Aku akan menunggu kamu.”
Aku benar-benar terbelalak sekarang. Aku rasakan sekujur tubuhku bergetar. Kata-kata itu terdengar seperti sabda seorang malaikat. Malaikat yang angun bukan buatan. Dan ternyata ia berdiri tepat di depanku.
“Ay… benarkah yang kudengar ini?”
“Fafa baik-baik ya di Jakarta. Kuliah yang rajin. Nanti susul Ayra di Surabaya.”
Itu berarti “ya”. Ya Allah terima kasih atas anugerah ini. Ayra memandangku dengan matanya yang hitam sayu. Ada perasaan tentram mengelilingi tubuhku. Dan aku tak bisa gemetar lagi. Aku balas itu dengan senyuman.
“Insyaallah, Ay. Kamu juga jaga diri baik-baik ya di Surabaya. Terima kasih atas semua ini… A, aku…”
“sudah, Fa. Keretanya mau berangkat. Cepat naik, nanti ketinggalan! Tapi janji dulu ya, susul Ayra ke Surabaya.”
Kali ini aku telah sangat mantap.
“Ya.”
Aku jinjing lagi tas isi cemilan buatan ibu dan kardus bawaanku. Ayra tersenyum padaku. Aku melirik kepada Idhan dan Naas. Mereka hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Dasar!
“Terima kasih atas kedatanganmu, Ay.”
Ayra hanya tersenyum. Itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan seribu satu macam perasaan kami yang terpendam.
“Boi, awas kalian ya! Antar kembali Ayra ke Surabaya. Jangan sampai kurang sehelai rambut pun. Kalau terjadi apa-apa, aku bantai kalian.”
“Tenanglah, Fa. Kita ini bodyguard profesional kok.”
Aku masih tak percaya dengan semua ini. Tapi aku sadar sekali, ini adalah kenyataan. Dan sahabatku, Dahana, bahkan sebelum ia pergi pun telah berbuat sesuatu yang tak ternilai bagiku. Han, semoga kau bahagia di sana. Berkumpul dengan kedua orang tuamu.
Ringan sekali rasanya melangkah masuk ke gerbong kereta. Dan untungnya masih tersisa tempat untukku, dekat jendela pula. Aku tata barang-barang bawaanku dan segera duduk.
“Perhatian para penumpang. Kereta tujuan Jakarta segera berangkat. Semoga selamat sampai tujuan.”
Kereta mulaiberjalan perlahan. Melalui jendela kereta aku menoleh ke luar. Disana aku lihat Ayra tersenyum melambaikan tangannya padaku. Aku balas lambaiannya, tersenyum pula padanya. Ia memang perempuan yang manis, sejak dahulu kala. Kini Ayra menungguku, dan aku telah menjadi laki-laki paling bahagia di dunia ini. Tunggulah Ay, akan kujadikan kau perempuan paling bahagia di dunia ini. Idhan dan Naas hanya cengar-cengir saja. Terima kasih kawan.
Ini akan jadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Semua kenangan dan kejadian-kejadian ini adalah episiklus yang menarik. Semuanya terasa berantakan dan terpecah pecah. Tapi dibalik itu semua ada penghubung-penghubung maha teratur yang telah terulis sejak dunia ini belum tercipta. Begitulah kata Harun Yahya. Dan aku telah mengalami itu semua. Dan yang tak mungkin bisa kulupakan, tentu saja senyuman manismu Ay…

“And the rain fall so nice.
I feel so blue, the sky too.
Before I can see the sky
You ask to me,
Can you hear me?
And the answer is blowing in the wind.
Always, my dear….”

Mandalawangi, 21 Maret 2010

1 komentar:

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.