.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Selasa, 08 Desember 2009

SIAPA DI BALIK G 30 S/PKI?

Membicarakan soal G 30 S/PKI memang ruwet. Saya yang sekolah di jurusan IPS saja masih agak bingung dengan penjelasan sejarah yang terdapat pada buku-buku diktat. Tapi itu yang membuat saya tertarik. Berawal dari ketertarikan ini saya baca beberapa buku di perpus dan koleksi ayah saya (agak pusing juga karena bukunya lumayan tebal). Dan saya dapat sedikit kesimpulan. Ya, cuma sedikit. Saya bilang begitu karena pada dasarnya masih banyak misteri yang belum terpecahkan dalam peristiwa paling kelam di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. dan lagi biar pun ini adalah hasil pemikiran para ahli tapi semua itu hanyalah “meraba-raba”. Kebenaran yang sesungguhnya mungkin hanya ALLAH yang tahu.
Pembaca yang budiman, dalam tulisan kali ini saya menitik beratkan persoalan G 30 S/PKI pada sisi “siapa pelaku atau dalang di balik G 30 S/PKI”. Saya rasa inilah persoalan pokok yang telah menjadi polemik panjang sampai sekarang. Banyak sekali versi yang menyatakan siapa dalang dan pelaku sebenarnya dalam G 30 S/PKI. Kalau saya sebut satu per satu diantaranya ialah : versi “Buku Putih” keluaran Sekretariat Negara RI, versi Ben Anderson-Ruth McVey, versi W. F. Wertheim (sejarawan Belanda), dan versi dokumen CIA berjudul The Coup That Backfiret terbitan tahun 1995. masing-masing dokumen ini punya dugaan dan argumentasi sendiri-sendiri. Saya jadi tambah bingung setelah membaca keterangan-keterangan ini. Semuanya serba masuk akal dan punya argumentasi yang sulit dibantah.

Sampai akhirnya saya membaca buku “Sukarno, Tentara, PKI”-nya Rosihan Anwar. Buku ini merupakan diari dan reportase Rosihan Anwar terhadap perkembangan politik Nasional dalam kurun 1960-1965. membaca buku ini saya sedikit menemukan titik penting yang sebelumnya tak pernah saya pikir sebelumnya. Dari buku ini saya dapat gambaran yang cukup jelas seputar situasi politik menjelang peristiwa berdarah tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Segitiga besar politik saat itu mengarah pada Sukarno, TNI AD, dan PKI. Semakin mendekati tahun 1965 ketiga pelaku politik ini benar-benar berkompetisi secara panas. Dan lebih penting lagi saya juga mendapat gambaran ringkas tentang latar belakang peristiwa G 30 S/PKI.
Dalam kata pengantar buku karya Rosihan Anwar tersebut saya memperoleh kronologi sederhana yang dikemukakan oleh Dr. Salim Said. Kurang lebihnya saya kutip dari buku tersebut seperti di bawah ini :
“Mula-mula Tentara (pimpinan Jenderal TNI Nasution) bekerja sama dengan Sukarno dalam memperkecil peran partai politik sembari memperkenalkan konsep Golkar, memberlakukan UUD 1945 dan membawa Indonesia ke sistem otoriter Demokrasi Terpimpin.
Menyadari kemudian bahwa Tentara secara politik makin kuat, Sukarnomengubah taktik. Dengan konsep Nasakom – mulai dikampanyekan pada tahun 1960 – Sukarno berbalik memperkuat parpol untuk digunakan sebagai penyeimbang menghadapi Tentara.
Sebenarnya dengan konsep Nasakom, Sukarno berharap PNI (Nas), NU (A), dan PKI (Kom) secra bersamaan bisa dimanfaatkan menghadapi Tentara. Tapi kenyataannya hanya PKI yang siap. PNI terpecah dan NU enggan bekerja sama dengan PKI. Akhirya dengan kaum komunislah Sukarno bekerja sama erat menghadapi Tentara. PKI yang sejak Peristiwa Madiun 1948menjadi musuh TNI, tentu saja memerlukan perlindungan Sukarno dari ‘kejaran’ Tentara, ketika Sukarno juga perlu dukungan massa PKI untuk menghadapi Tentara.
Sementara itu Tentara – yang memang tidak utuh bersatu – tidak punya cukup keberanian berkonfrontasi terbuka dengan Sukarno. Dan ketika Tentara dalam keadaan defensif, Sukarno malah terus memperkuat cengkramannya atas kaum militer. Dengan taktik pecah belah – yang dipraktekkan Sukarno terhadap AD sejak peristiwa 17 oktober 1962 – Tentara makin dibuat tak berdaya. Pada bulan Juni 1962 Sukarno bahkan sukses menyingkirkan Nasution dari posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk selanjutnya hanya menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) yang sama sekali tanpa wewenang komando.
Jenderala Ahmad Yani yang menggantikan Nasution – semula dianggap bisa diatur oleh Sukarno – kemudian ternyata lebih mengikuti garis AD yang antikomunis. Keadaan demikian menjengkelkan Sukarno sehingga pada pertengahan tahun 1965 di Jakarta tersiar desas-desus bahwa Yani akan disingkirkan lalu diganti oleh Jenderal yang lebih dekat dengan Sukarno. Peristiwa berdarah G 30 S/PKI mendahului rencana Sukarno. Yang menggantikan Yani adalah Suharto, seorang jenderal tang tidak pernah disebut-sebut dalam percaturan politik semasa Demokrasi Terpimpin.
Kekuatan masyarakat yang dalam masa prahara mendukung Suharto untuk berkonfrontasi dengan Sukarno adalah kekuatan yang terbentuk melalui kristalisasi selama masa Demokrasi Terpimpin. Sikap Sukarno yang dipersepsikan sebagai sangat menguntungkan PKI serta ‘ofensif revolusioner’ golongan komunis – terutama agresifitas dalam mengganyang lawan-lawan politiknya dan menjalankan aksi sepihak – yang menakutkan kaum non dan antikomunis, secara tidak langsung menguntungkan Tentara. Secara perlahan tapi pasti Tentara bertransformasi menjadi garda depan kekuatan anti komunis dan menjadi tempat berlindung bagi mereka-mereka yang ‘dikejar-kejar’ oleh PKI.
Sebagai akibat dari sebuah proses konfrontasi yang terus bereskalasi dengan tempo makin tinggi, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa tahun 1965 menyaksikan puncak perpecahan masyarakat Indonesia, yang terbelah dalam pihak prokomunis yang secara tajam berhadapan dengan pihak antikomunis. Dengan latar belakang seperti inilah G 30 S (Gestapu), awal sebuah prahara besar – dengan korban tak terkira – yang secara fundamental kemudian mengubah perpolitikan Indonesia.”
Sampai di sini saya telah mengerti satu hal yang patut kita pertimbangkan dalam meneliti peristiwa G 30 S/PKI. Demokrasi Terpimpin. Saat itulah Sukarno menjalankan politik tangan besinya. Kondisi Indonesia saat itu tak bisa dikatakan stabil sebagai sebuah negara yang berdaulat. Ekonomi yang terjun bebas, iklim politik yang saling tuduh dan menjatuhkan, negara yang tak punya dasar-dasar pijakan yang pasti, serta rakyat yang merengek-rengek minta nasi dan keadilan. Kondisi benar-benar carut marut. Dan dalam kondisi seperti inilah Sukarno mencoba untuk menjadi “Raja Diraja”. Pertama-tama ia meminta bantuan Tentara. Tapi ternyata Tentara juga ingin unjuk gigi. Di lain pihak PKI mencoba bangkit dari “tidurnya”. Tiga kekuatan inilah yang mencoba mengail dalam keruhnya Indonesia. Kekuatan-kekuatan itu sama-sama ingin menunjukkan dialah yang paling hebat.
Saya renungkan lagi semua informasi yang saya baca. Dan sampailah saya pada sebuah kesimpulan, kesimpulan saya sendiri tentang G 30 S/PKI. Saya rasa sampai kapanpun kita tak akan pernah menemukan “Dalang Agung” dari G 30 S/PKI. Karena memang tak ada individu yang dominan di sini. Semua orang punya andil sendiri-sendiri dan punya kepentingannya sendiri-sendiri. Semuanya sama-sama ingin berkuasa! Selain itu situasi sosial politik Indonesia saat itu benar-benar menjadi lahan subur bagi tumbuhnya perang ideologi yang membawa bibit perpecahan bagi bangsa Indonesia.
Dan akar dari itu semua adalah bahwa bangsa ini sampai saat itu belum memiliki – kalau menurut saya pribadi lebih tepat dikatakan “malu mengakui” – jati dirinya. Di awal terbentuknya NKRI dengan bangga memproklamirkan diri sebagai negara demokrasi. Lalu ketika demokrasi itu lebih condong kepada liberalisme yang notabene budaya kaum imperialis, bangsa ini dengan tergagap-gagap mengikut pada sosialisme bahkan komunisme. Demokrasi, liberalisme, sosialisme, dan komunisme bukanlah jiwa Bangsa Indonesia! Kita punya jiwa sendiri yang telah mendarah daging sejak negeri ini bernama Nusantara. Dan dengan sangat indah pula Pu Tantular menuliskannya dalam sebuah karya masterpiece a – yang benar-benar asli Indonesia – Sutasoma. Semua anak SD bahkan mengenalnya. Begitu sederhana tapi puitis. BHINEKA TUNGGAL IKA.
Kalau kita mundur ke belakang, sidikit banyak peristiwa G 30 S/PKI ini mirip dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan para Dharmaputera Winehsuka yang dipimpin Rakrian Kuti terhadap Raja Jayanegara di jaman awal Majapahit. Di awal terbentuknya, Majapahit juga di rongrong oleh berbagai pemberontaka yang justeru berasala dari orang-orang yang dulunya sama-sama berjuang membangun Majapahit. Tinggal nantinya bisakah kita bangkit dan menjadi negeri besar dan masyur seperti Majapahi atau malah terpuruk lagi.
Pembaca yang budiman, mungkin arah pembicaraan dalam tulisan ini jadi agak ngelantur. Di awal saya ngajak ngomong soal G 30 S/PKI tapi di akhir jadi ngomong soal ideologi (memang saya masih harus banyak belajar menulis lagi). Tapi percayalah bahwa segala sesuatu itu salng berhubungan satu sama lainnya. Dan kalau anda semua bingung dengan tulisan ini, beginilah kesimpulan yang saya dapat : Dalang dari G 30 S/PKI bukanlah orang perorang atau suatu institusi tertentu. Dalang utama dari G 30 S/PKI adalah karena bangsa ini belum “menemukan kembali” jati dirinya setelah sekian lama tertindas oleh penjajahan.
Semoga anda sekalian berkenan.
Mandalawangi, 7 Desember 2009

1 komentar:

  1. Bagus. Sebuah "upaya" analisa yg patut dihargai, dan saya sangat apresiatif dgn tulisan Anda ini.

    BalasHapus

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.