.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Minggu, 26 Juli 2009

IDENTITAS KITA

Malam ahad kemarin saya senang sekali. Hampir 3 tahun ini saya tak pernah menonton pementasan wayang kulit. Dan kemarin dahaga saya akan tontonan yang satu ini terpuaskan. Saya begitu menikmatinya dan menonton sampai subuh. Lakonnya begitu memukau dan kritis, karawitannya mantap, dan begitu ramai. Tapi di balik itu semua saya punya dua catatan yang saya peroleh dari wayang kulit kali ini. Pertama tentang penontonnya dan yang kedua tentang lakon yang dibawakan dalang.
Sebenarnya apa pentingnya membicarakan penonton? Apa tak ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan? Justeru itulah sebabnya, karena tak pernah dibicarakan, saya ingin mengangkat suatu hal yang sepele ini. Baik, mari kita mulai saja. Wayang kulit adalah pertunjukan tradisional dan sudah sangat tua umurnya. Dulu ketika nenek moyang kita belum kenal TV, sinetron, atau reality show, wayang merupakan primadona dan selalu ditunggu-tunggu. Tapi coba lihatlah untuk saat ini. Pertunjukan wayang yang nyata-nyata lebih punya kualitas daripada sinetron cengeng semakin ditinggalkan.
Saat saya menonton ketika itu, saya tak menjumpai remaja seumuran saya. Rata-rata adalah orang seumuran ayah saya atau kakek-kakek. Itupun hanya ramai ketika bagian Cangik-Limbuk dan Goro-goro yang memang menghadirkan nyanyian dangdut dan sinden yang cantik-cantik. Setelah itu, ya biasa saja. Saya jadi heran dengan sikap kita yang begitu marah ketika kesenian Reog diklaim oleh Malaysia, padahal nyatanya kita tak pernah peduli dan merasa tergerak untuk melestarikannya. Saya malah berpikiran lebih baik jika Reog itu diklaim oleh Malaysia tapi tetap lestari daripada di negeri sendiri tak pernah dipedulikan lalu hilang begitu saja.

Kebetulan saat saya nonton kemarin, saya duduk di samping dua orang kakek yang sepertinya berteman. Entah mengapa saya begitu senang mendengarkan pembicaraan beliau berdua. Beliau berdua begitu asyik membicarakan tokoh wayang dan lakon yang sedang digelar. Kadang saya dengar beliau berdua tertawa dan saling diskusi menikmati lakon yang dibawakan dalang. Kalau saya bilang beliau-beliau ini layaknya nonton sinetron. Ayah saya juga begitu. Biasanya beliau juga bercerita sedikit tentang wayang kepada saya. Saya merasa negeri ini butuh lebih banyak orang-orang seperti ini daripada sarjana-sarjana lulusan sekolah elit di Amerika sana. Orang-orang yang begitu memahami dan begitu cinta pada budayanya sendiri. Bukan orang-orang yang katanya modern lantas melupakan asal-usulnya sendiri.
Catatan saya yang kedua berkenaan dengan lakon yang dibawakan sang dalang. Sang dalang malam itu membawakan lakon tentang riwayat hidup Wisanggeni. Sedikit mengulas siapa Wisanggeni, ia adalah anak dari Arjuna dari istrinya yang bernama Dewi Dersanala. Wisanggeni adalah keturunan Dewa Brama, penguasa api. Saat Wisanggeni lahir, Dewa Brama begitu marah karena ia ingin memperoleh cucu dari dewa bukan manusia seperti Arjuna. Sejak Awal Dewa Brama ingin menikahkan Dewi Dersanala dengan dewa bukan manusia seerti Arjuna. Karena dorongan Dewi Durga, Dewa Brama tega membuang bayi Wisanggeni ke kawah Candradimuka. Namun bukannya mati, bayi Wisanggeni diselamatkan dan di-“ruwat” oleh begawan Semar dan Prabu Bathara Kresna. Jadilah Wisanggeni pemuda yang dianugrahi keistimewaan layaknya dewa. Ia berkulit merah dan mempunyai semacam sorban yang bisa membuatnya terbang. Ia juga punya keistimewaan bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi lebih dahulu. Setelah itu ia bertekad untuk mencari jati dirinya. Oleh Begawan Semar, Wisanggeni dinasehati supaya bertanya kepada para dewa di Kahyangan perihal asal-usulnya. Jika dewa tidak mau memberi tahu rusaklah kahyangan mereka dengan kesaktian yang dimilikinya. Ia mematuhi nasehat Semar dan pergi ke Kahyangan. Dan ternyata semua dewa tak ada yang mau memberitahukan asal-usulnya termasuk juga raja para dewa, Bathara Guru. Sesuai perintah Begawan Semar Wisanggeni akhirnya mengobrak-abrik Kahyangan bahkan membuat Bathara Guru tak bisa berbuat apa-apa. Singkatnya Bathara Guru kewalahan dan pergi menemui Semar. Begawan Semar yang memang dalang dari semua kekacauaan ini memberikan wejangan kepada Bathara Guru. Semua kejadian ini adalah akibat dari kesewenang-wenangan dewa. Merasa berkuasa bukan lantas menjadikan dewa itu sombong dan mengatur manusia seenak hatinya sendiri. Dan sebagai dewanya dewa mestinya Bathara guru tak hanya diam saja seperti itu. Akhirnya Bathara guru meminta maaf dan menjelaskan siapa jati diri Wisanggeni yang sesungguhnya.
Cerita yang sederhana memang, tapi maknanya sangat dalam. Lakon tersebut saya kira sangat pas untuk iklim politik Indonesia saat ini. Di mana seluruh lapisan masyarakatnya sedang melaksanakan sebuah pesta demokrasi. Sebuah teguran dini bagi calon penguasa nantinya. Ibaratnya Bathara Guru itu adalah seorang presiden dan Wisanggeni adalah individu rakyat yang kritis dan proaktif. Ketika si penguasa dirasa sudah tak lagi merakyat, kita butuh pribadi-pribadi yang punya mental Wisanggeni. Pribadi-pribadi seperti inilah yang kita harapkan tumbuh pada pemuda-pemuda kita. Sungguh ini lakon yang sangat bagus. Salut untuk Ki Dalang. Saya jadi ingin nonton wayang lagi…

Mandalawangi, 9 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.