Entah mengapa saya begitu tertarik dengan dua tema tersebut akhir-akhir ini. Terasa begitu filosofis. Hidup dan mati. Terasa begitu dekat. Dan saya ingin membahas kedua tema itu yang banyak saya baca dalam puisi. Dan saya temukan dua orang yang sangat cocok. Soe Hok Gie dan Chairil Anwar. Keduanya adalah tokoh saya. Sebagian pembaca mungkin sudah membaca tulisan-tulisan Gie dan Chairil. Menarik menurut saya. Dan saya memilih mereka karena memang kdua tema itu terasa sangat kental dalam karya puisi mereka. Gie memang bukan seorang penyair, tapi dua puisinya dalam”Catatan Seorang Demonstran” sangat menarik bagi saya.
Dari segi pengucapan keduanya begitu berbeda. Gie amat halus, mengalir, dan tegas di akhir. Sedangkan chairil cukup lugas sejak kata pertama dan begitu intens. Kesamaannya, baik Gie maupun Chairil begitu jujur dalam puisinya dan sama-sama mati muda. Tampaknya pandangan mereka sama, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan atau dilahirkan tapi mati muda, dan nasib terburuk adalah hidup sampai tua. Keduanya begitu intens bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan hidup dan mati.
Sebelum bicara lebih jauh, berikut ini puisi-puisi Gie dan Chairil yang akan kita kupas :
1. Hidup
Terasa pendeknya hidup memandang sejarah.
Tapi terasa panjangnya karena derita.
Maut; tempat perhentian terakhir.
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam.
(Jumat, 5 Januari 1962)
2. Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah mendalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
(selasa, 1 April 1969)
3.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendalawangi.
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa.
(Selasa, 11 November 1969)
4. Nisan
(untuk nenekanda)
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
(Oktober 1942)
5. Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
6. Tak Sepadan
Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api itu
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
(Februari 1943)
7. Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
8. Buat Nyonya N
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu
Dan kini dia turun ke rendahan datar
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu
Burung-burung asing bermain keliling
Kepalanya dan buah-buahan hutan ganjil
Mencap warna pada gaun
Sepanjang jalan dia terkenang akan menjadi
Satu atas puncak tinggi sendiri
Berjubah angin, dunia di bawah dan lebih
Dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
Sungguh tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing,
Buah-buahan pandan ganjil
Turun terus. Sepi
Datar-lebar-tidak bertepi.
(1949)
9.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasingdari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah.
(1949)
****
Baik Chairil maupun Gie sama-sama menyadari adanya kematian pada saat masih sangat muda. Pada saat seseorang biasanya sedang gencar-gencarnya mencari kehidupan. Chairil menyadarinya saat mendapati kematian neneknya. Tapi rasanya ia menganggap bahwa kematian adalah hal yang rutin. Sangat dekat dengan seseorang. /bukan kematian benar menusuk kalbu/ katanya. Dan betapa tak berdayanya manusia bila sudah berhadapan dengan kematian. /keridlaanmu nenerima segala tiba/. Itulah yang jadi intinya. Ia sadar bahwa manusia memang tak berdaya. Ia hanya akan pasrah pada kematian. Karena memang kematian adalah sesuatu yang sendirian. Siapa yang mau untuk diajak mati, siapa yang mau menolong? Tapi berbeda dengan Gie. Dia katakan dengan yakin /maut; tempat perhentian terakhir./ dan bahkan dengan tenang dia berkata /nikmat datangnya dan selalu diberi salam/.
Kematian adalah urusan pribadi, antara manusia sebagai individu dan sang maut sendiri. Sejenak, kita akan terseret oleh pertanyaan-pertanyaan yang filosofis tentang tujuan hidup. Apa yang kita tuju kalau /akhirnya kita akan tiba/ pada suatu hari yang biasa/ pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui/. Apa gunanya segala yang telah kita lakukan untuk bertahan hidup. Apa yang kita cari dalam hidup kalau akhirnya tujuan kita adalah kematian. Dalam suasana seperti inilah akhirnya Chairil bertemu dengan tokoh legendaris, Pangeran Diponegoro. Dalam puisi Diponegoro Chairil tampak bersemangat /dan bara kagum menjadi api/ di depan sekali tuan menanti/ tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/. Begitu bergairahnya sang pangeran, tak ada ketakutan akan apapun. Padahal ia tahu lawannya banyak sekali. /pedang di kanan keris di kiri/ berselempang semangat yang tak bisa mati/. Begitu tegaknya sang pangeran menantang hidup ini.
Begitu pula halnya dengan Gie. Ia melihat /ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah/ ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza/. Ia melihat orang-orang dengan keinginannya sendiri mengisi hidupnya. Dan akhirnya ia memilih sendiri hidupnya. Ia katakan /tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, sayangku/ bicara tentang anjing kita yang nakal dan lucu/ atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandalawangi/. Chairil dan Gie sementara hanyut dalam hidupnya. Malah Chairil berkata dengan tegasnya /sekali berarti/ sudah itu mati/. Atau Gie yang berkata /terasa pendeknya hidup memandang sejarah/. Mereka sadar hidup itu sangat pendek. Dan itu artinya mereka juga sadar bahwa memang kematian itu juga sama dekatnya. Tapi dengan tegas Chairil berkata /punah di atas menghamba/ binasa di atas ditinda/ sungguh pun dalam ajal baru tercapai / jika hidup harus merasai/. Itu artinya hidup bukan hanya bertahan untuk mengambil jarak dari kematian. Harus ada sesuatu yang mengisinya. Semisalnya sang pangeran yang memilih untuk berjuang melawan penjajah untuk kebebasan. Atau mereka-mereka yang menghabiskan waktunya untuk sesuatu kata Gie.
Namun selanjutnya Gie tak banyak bicara tentang kelanjutan hidupnya. Tapi Chairil masih setia bergelut dengan hidupnya. Ia begitu intens mencari lagi, menggali lagi pertanyaannya tentang hidup. Dan semakun jauh ia mencari ada sesuatu hal lain lagi yang ia risaukan. Ia menemukan sisi lain persoalan yang ia hadapi. Sang pangeran meskipun telah berjuang dengan gagah, tapi akhirnya ia terkurung sendirian di sebuah penjara di Makassar. Sang pangeran tak bisa mengenggam nasibnya. Karena memang nasib itu tak pernah di milikinya. Ia hanya menjalaninya. Kejadian ini membuat chairil termenung memikirkan sesuatu, ikatan. Ia menyadari bahwa meskipun sanng pangeran memperjuangkan kebebasan, tapi ia menganggap sesuatu yang diperjuangkan itu adalah sebuah keterikatan. Ia bertanya, untuk apa kita terikat sesuatu (sekalipun itu kebebasan) kalau akhirnya nasib tidak berpihak pada kita. Kontradiksi.
Tapi akhirnya Chairil terbangun dan ia telah menentukan pilihannya sendiri. /aku kira/ beginilah nanti jadinya/ kau kawin, beranak, dan berbahagia/ sedang aku mengembara serupa Ahasveros/. Ia memilih kesunyian. Tak ada ikatan. Ia memilih menjalani hidupnya dengan apa adanya. Meskipun ia juga tahu apa yang akan terjadi padanya nanti : /dikutuk sumpahi eros/ aku merangkaki dinding buta/ tak satu jua pintu terbuka/. Itu artinya kesepian. Penderitaan. Tapi hal ini justeru mendekatkannya pada satu hal yang coba ia jauhi, kematian. Ya, seseorang tak akan tahan berlama lama dalam kesepian kesendirian. Tapi ia tak pernah memilih untuk bunih diri hanya karena kesepian. Ia sadar bukan saatnya menyerah pada kesepian, justeru semakin memperkuat diri menghadapi semua. /tak perlu sedu sedan itu!/ aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya yang terbuang/. Ia sadar bahwa ia sendirian. Dan jawaban dari penderitaannya adalah : /biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang/ luka dan bisa kubawa berlari/ berlari/ hingga hilang pedih peri/. Dengan tegas ia menantang kematian, dan ia temukan jawabannya, dengan lantang ia teriakkan /dan aku akan lebih tidak peduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi/.
Berbeda dengan Chairil, sejak awal Gie telah menyadari bahwa ia akan kesepian. Kita tahu ia adalah seorang demonstran. Tulisannya membuat panas orang-orang yang membacanya meski banyak juga yang simpati. Tapi tetap saja ia akan kesepian. Orang-orang yang simpati padanya hanya sebatas pada perasaan itu, tak lebih. Mereka takut justeru karena keberaniannya. Gie dipuja tapi ia sendiri. Tapi ia cepat sadar dengan itu semua dan ia memilih untuk bicara dengan seseorang yang ia cintai. Jadi Gie tak sepenuhnya sendiri, meski seseorang itu juga ragu padanya. Ia lari ke mandalawangi. Yang ia yakini memberikannya keindahan dan ketenangan. Ia sebut sebagai lembah kasih. Dan di sana ia terus bergumul denga seseorang yang dekat dengannya. /manisku, aku akan berjalan terus/ membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan/ bersama hidup yang begitu biru/.
Sekuat apapun batu karang, pada akhirnya akan runtuh juga oleh ombak. Itu pula yang terjadi pada Chairil dan Gie. Kebetulan atau tidak puisi yang mereka tulis pada tahun kematian mereka menampakkan gejala yang sama. Pada akhirnya mereka menyerah. Bagi Chairil hidup seperti sebuah bukit. Ia telah mendakinya hingga puncak. Dan ia dapatkan apa yang selama ini ia cari. Ia terkenang akan semua hal yang dulu ia lakukan. Dan apa yang dilihatnya setelah itu, kematian. Akhirnya ia akan turun ./turun terus. Sepi/ datar-lebar-tidak bertepi/. Tapi ia turun tidak dengan kelemahannya atau penderitaannya, ia katakan /aku sekarang orangnya bisa tahan/ sudah beberapa waktu bukan kanak lagi/. Tapi tetap saja ia bosan dengan pergumulannya itu, ia katakan (dan sedikit menyesal pada sekelilingnya) /hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah/. Lalu ia turun ketempat yang “datar-lebar-tak bertepi.”
Gie malah lebih tegas lagi menyatakan kebosanannya sendirian. Tapi ia tetap teguh dengan pertanyaan yang tampaknya tak kunjung ia temui jawabnya. /tapi aku ingin mati di sisimu, manisku/ setelah kita bosan hidup dan terus bertanya/ tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu/. Dan ia semakin tidak tahan dengan kesendiriannya. Tapi ia tetap memilih untuk mengenangnya saja. Dan ia akhiri perjalanannya dengan kekosongan. /mari sini sayangku/ kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku/ tegaklah kelangit yang luas atau awan yang mendung/ kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak kan pernah kehilangan apa-apa/.
****
Baik Chairil maupun Gie sama-sama memulai semuanya dengan kegundahan. Dengan titik tolak yang sama. Mereka sama intensnya bergumul dengan kehidupan, pilihan-pilihan, dan tujuan. Dan pada saatnya mereka menyerah, dengan lapang mereka menyerah. Mereka lepaskan semuanya, termasuk jawaban dan pertanyan-pertanyaan mereka. Sejak awal mereka menyadari kehidupan dan kematian adalah sesuatu yang saling berdekatan, abstrak, dan absurd. Kiranya tepat sekali seorang filsuf Yunani berkata “nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.” Sampai jumpa tuan-tuan.
Mandalawangi, 13 Maret 2009
Sabtu, 14 Maret 2009
MEMBICARAKAN HIDUP DAN MATI DALAM PUISI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

!!!!!^^^BAGOOESSSS SEKAL^^^^!!!!!
BalasHapus*****^^^^Bagoooessss sekali^^^^*****
BalasHapus***^^^and is the best for you^^^***
it`s so coooooool!!!!!!!!!!!!
BalasHapusthank`s bgt ya atas infox>_<
Udah baguz ko' dik Fadrik....
BalasHapustpi klo adk pnya inspirasi lgi,masukin lgi Zow...
cz,Q suka ma tulisan adk...!!!!
Chayoooo....!?!?!
buat deks fadrik yang smangat zaw>>>>>>>>! buatlah bangga OUR school MAN ,,,,,,
BalasHapusSMANGAT!
Assalamualaikum,Maz....Good Luck yach...
BalasHapus