.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Sabtu, 28 Maret 2009

BUBUKSAH GAGANG AKING, SEBUAH CERMIN DARI MASA LALU

Keikhlasan merupakan kunci ibadah. Tanpa keikhlasan percuma saja kita melakukan ibadah. Hanya akan tampak sebagai ritual ibadah saja. Tapi justeru yang sulit adalah menciptakan keikhlasan hati itu sendiri. Tapi apa salahnya bila kita terus berusaha. (sebenarnya saya agak malu menuliskan ini. Rasanya belum pantas. Tapi setidaknya tulisan ini bisa jadi pengingat kita semua)

Berhubungan dengan persoalan diatas, ada hal menarik yang ingin saya sampaikan. Sebagian pembaca yang di SD pernah belajar bahasa Jawa tentunya mengenal kisah Bubuksah Gagang Aking, bukan ? atau setidaknya anda mengetahui kisah ini dari orang-orang tua semisal kakek anda atau ibu anda. Bagi saya pribadi kisah ini cukup menarik. Karena ternyata sudah sejak ratusan tahun lalu nenek moyang kita telah menganggap penting keikhlasan dalam beribadah, terlepas terhadap kepercayaan yang mereka dulu anut (di sini saya mencoba mengaitkan dengan sisi agama Islam).

Secara singkat akan saya ceritakan mengenai kisah Bubuksah Gagang Aking. Dahulu ada dua bersaudara yang pergi ke hutan hendak bertapa demi kesempurnaan hidup. Mereka adalah Bubuksah dan saudaranya Gagang Aking. Dalam menjalani “laku”-nya mereka berbeda cara. Bubuksah bertapa dengan jalan memakan segala macam makanan sehingga badannya jadi gemuk, sedangkan Gagang Aking melakukan sebaliknya dengan menjauhi makanan sehingga tubuhnya jadi kurus.

Suatu saat Batara Guru berkenan menguji mereka berdua. Maka diutuslah dewa bernama Kalawijaya untuk melaksanakannya. Akhirnya Kalawijaya turun ke dunia sebagai harimau putih. Pertama kali ia mendekati Gagang Aking. Kepada Gagang Aking si harimau putih berkata bahwa ia lapar dan butuh daging manusia. Gagang Aking serta merta menolaknya. Karena percuma saja ia memakan Gagang Aking, si harimau putih pasti tak akan pernah kenyang. Kemudian si harimau putih mendatangi Bubuksah. Si harimau putih menyatakan permintaan yang sama kepada Bubuksah. Tanpa pikir panjang Bubuksah dengan sukarela menyerahkan tubuhnya untuk menjadi santapan si harimau putih. Seketika itu Kalawijaya kembali ke wujud aslinya. Kalawijaya berkata bahwa yang lulus dalam pertapaannya adalah Bubuksah, bukan Gagang aking. Pada akhir hayat mereka keduanya sama-sama masuk surga karena tapa mereka. Tapi yang berbeda Bubuksah menerima kehormatan dewa dengan naik ke surga di atas punggung harimau putih sedangkan Gagang Aking bergelantungan di ekor harimau putih itu.

Pertanyaannya, mengapa bukan Gagang Aking yang jelas-jelas menjauhi nafsunya yang mendapat kehormatan duduk di atas punggung harimau tapi malah Bubuksah? Seperti diungkapkan di awal, kuncinya adalah keikhlasan. Gagang Aking memang melakukan “laku” yang terbilang istimewa, tapi tak ada keikhlasan untuk berbagi dan menolong makhluk lain yang membutuhkan. Sedangkan Bubuksah karna keikhlaasannya kepada dewa mau menyerahkan tubuhnya untuk menolong si harimau putih. Dalam Islam apa yang dilakukan Gagang Aking hanya sebatas bertuk ritualnya bertapa, sedangkan Bubuksah bertapa dengan hatinya. Bubuksah bertapa dengan keikhlasannya bahwa apa yang ia miliki sebenarnya adalah titipan. Dan titipan itu harus dijaga dengan baik dan dimanfaatkannya sebaik mungkin.

Dengan sangat arif nenek moyang kita memberikan “luhuring tuladha” melalui kisah bubuksah gagang aking. Jadi universal. Dan kisah ini juga merupakan sebuah pelajaran bagi kita bahwa kulit luar saja tidaklah mencerminkan isinya. Karena itu dalam menilai seseorang tak cukup kita melihat ketampanannya, kekayaannya, atau kemasyurannya. Terpenting adalah hatinya. Kiranya semangat Bubuksah ini akan tetap relefan untuk era globalisasi seperti saat ini. Masa lalu memang bukan untuk dilupakan, lebih dari itu pada masa lalulah kita mengambil pelajaran dan perenungan.

Mandalawangi, 19 maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.