.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Sabtu, 05 Maret 2011

DOKTER INDRO, SANWANI, MAS SLAMET, DAN MASALAH PEMBANGUNAN

Dokter Indro :
Kenapa orang sini pada borokan mulu nih ye? Nggak ada yang sakit jantung kayak di kota.
Mas Slamet :
Soalnya penyakit jantung nggak masuk program pemerataan itu.
Dokter Indro :
Loh kok gitu?
Mas Slamet :
Ya nggak tau', yang di gedongan sakitnya begitu,  yang bawah  borokan.
Dokter Indro :
Hmm, jadi penyakit jantung, penyakit liver kagak pernah mampir sini.
Sanwani :
Bukan ape-ape, penyakit jantung kagak mampir sini, penyakit jantung buat orang banyak pikiran. orang kecil pan nggak pernah mikir, laper mulu.
Dokter Indro :
Belon tentu lagi...
Mas Slamet :
Iye banyak lapernya daripada mikirnya.
Dokter Indro :
Belon tentu...
Mas Slamet :
Loh kok gitu?
Dokter Indro :
Iye... belon tentu makan sehari.
***

Dokter Indro :
Nah ini lagi, ini banyak ni di sini ni. tiap dateng "Dok, saya penyakit borok", dateng lagi "Dok saya sakit koreng". Aduh ileh...Ini borokan semua yak! livernya kapan??!
Sanwani :
Iye, Dok, maklum di kampung sini mandi cuci kakusnya nggak beres, Dok.
Dokter Indro :
MCK kurang bagus, ya lapor! Ke RT, RT ke RW, RW ke lurah, lurah ke camat, camat ke walikota, walikota ke gubernur.
Sanwani :
Eee! Udah saya laporin taun '72 ampe' sekarang belon diapa-apain!
Dokter Indro :
Berarti berkasnya nyangkut.
Sanwani :
Nyangkut di mane?

Dokter Indro :
Ye nggak tau'...
***

Dokter Indro :
Orang baru dateng di Jakarta ya begitu tu... di Jakarta tuh ada pepatahnya tau'. Sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota.
Mugirin :
Orang di kota pada kaya kook..kejam dari mana?
Dokter Indro :
Itu keliatannya, Mas. Ngeliat yang di sini yang bagus-bagusnya aja.
Mugirin :
Kae gedong.. HI gedonge empat belas tingkat. Wisma Nusantara tujuh belas tingkat. Semua rumah di sini bertingkat, di pinggir kali aja pada bertingkat.  Eee.. temen saya tu Samino, tetangganya orang pinggir kali rumahe susun. saya pikir itu rumah, nggak taunya kandang burung.
Dokter Indro :
Nah itu mangkanya, kandang burung disangkain rumah itu di ibukota adanya cuman.
Mugirin :
O... saya pikir itu kandang burung.
Dokter Indro :
Mangkanya  jangan sok tau', dokter disok tau'in...
***

Adakah pembaca yang budiman telah membaca buku baru dari “sisa-sisa” anggota Warkop? Kalau belum, wah, saya rekomendasikan sekali itu. Judulnya “WARKOP, Main-main Jadi Bukan Main”, dieditori langsung oleh Rudy Badil dan Indro Warkop. Untuk resensinya nanti dulu ya, sekarang bahas yang lain dulu.

Dalam buku itu disertakan sebuah cakram CD yang berisi album lawakan grup Warkop Prambors volume 1 dan 2. Sangat menghibur. Karena ketagihan saya iseng-iseng hunting album lainnya di youtube.com. Dapatlah salah satunya berjudul “Dokter Masuk Desa”, album lawakan kelima Warkop Prambors yang keluar tahun 1981. Agak beda dari album-album sebelumnya, kali ini Warkop menyajikan guyonan yang “bercerita”, tidak sekadar jokes reading yang terputus-putus seperti sebelumnya.

Ceritanya sekitar seorang dokter yang ditugaskan untuk dinas di sebuah desa, kampung Kelitik namanya. Di situ pertama kali si dokter (Indro) harus memberikan penyuluhan kepada penduduk Kelitik. Lalu setelahnya adalah interaksi antara si dokter dan pasiennya. Sungguh kocak mendengar Mas Slamet (Dono) yang sok tahu tapi suka nyeletuk tak jelas. Ada juga Sanwani (Kasino) yang ndeso tapi sedikit tempramen, tentu saja sama-sama sok tahunya. Di segmen kedua ada Mugirin (Kasino) yang medok khas Tegal, juga sok tahu, cerewet pula. Sementara si dokter adalah tipikal orang kota yang perlente, tak mau kalah, dan sedikit “galau”.

Yang menarik dari volume ini adalah jokes satir khas Warkop Prambors. Kalau kata lagu Mars Warkop, “...nyentil sana dan sini, bukannya mau usil”, seperti itulah yang saya tangkap dari guyonan-guyonan Warkop Prambors di volume ini. Terutama sekali cuplikan-cuplikan yang saya kutip di atas. Kali ini Dono, Kasino, dan Indro ingin nyentil soal program pemerataan pembangunan dan masalah birokrasi. Dengan gaya lawakan cerdas ala Warkop sentilan yang mungkin nyelekit buat penguasa itu terdengar santai dan lebih mengena. Terlebih dengan sangat pas, sentilan itu diungkapkan langsung oleh orang-orang desa melalui mulut Sanwani, Mas Slamet, dan Mugirin yang lugu.

Dokter Indro agak galau menghadapi kenyataan bahwa ilmunya yang setinggi langit itu hanya digunakan untuk mengurus borok yang merajalela di kampung Kelitik. Tidak seperti di kota yang ia berhadapan dengan penyakit-penyakit gawat macam jantung dan liver. “Kenapa orang sini pada borokan mulu nih ye? Nggak ada yang sakit jantung kayak di kota” katanya. Mas Slamet yang suka nyeletuk pun menimpali, “Soalnya penyakit jantung nggak masuk program pemerataan itu”. Lebih lugu lagi Sanwani menambahi bahwa diantara orang-orang kecil seperti mereka tidak layak dapat penyakit seperti itu. Penyakit-penyakit jantung, liver, atau kanker itu milik orang kota, orang yang punya duit. Buat orang desa memang sudah bagiannya dapat penyakit borok dan koreng.

 Sederhana saja intinya bahwa program pemerataan pembangunan dari pemerintah tak berjalan sebagaimana mestinya.  Metafora “penyakit kota” dan “penyakit desa” dengan gemilang telah berhasil merepresentasikan orang yang makmur karena pembangunan kota dan orang desa yang masih kebingungan cari makan. Penyakit kota tentulah butuh dana lebih untuk menyembuhkannya, dan mereka punya dana itu. Sementara orang desa yang tak mencicipi hasil pembangunan cukuplah “bangga” dengan boroknya. Mas Slamet bilang, “Iye banyak lapernya daripada mikirnya”. Maksudnya “mikir” di sini barangkali adalah soal pendidikan, yang mana masih jarang orang desa pada waktu itu yang mengenyam pendidikan. Gara-garanya, ya, pembangunan yang tak merata itu tadi. Bagaimana mau sekolah, makan saja susah. Dan lebih nyelekit lagi Dokter Indro menutup, “Iye... belon tentu makan sehari”.

Lalu lagi-lagi Dokter Indro yang jaim mengeluh lagi soal penyakit borok di Kelitik. Ia heran betul, mengapa penyakit borok begitu “tenar” di Kelitik? Sanwani lagi-lagi dengan lugunya, tapi kali ini dengan agak emosi, menjawab, “Iye, Dok, maklum di kampung sini mandi cuci kakusnya nggak beres, Dok”. Dia bilang sudah melapor kepada para birokrat, bahkan sudah sejak sepuluh tahun lalu. Tapi tentu saja, seperti yang saya duga, tak ada hasilnya. Dan dengan enteng Dokter Indro bilang bahwa berkas laporannya pasti “nyangkut”. Kali ini sasarannya adalah birokrat dan sekaligus birokrasinya yang terkenal ruwet sejak dulu. Sekarang pun juga, kan? Mirisnya terkadang untuk masalah-masalah yang sebenarnya bisa simpel malah diruwet-ruwetkan. Loh, kenapa? Hehe, biasalah, kata Slank sih UUD, ujung-ujungnya duit.

Di segmen yang kedua, kali ini datang seorang entah dari mana, namanya Mugirin temannya Samino. Saya kira sih, dari Tegal mungkin kalau dilihat dari logatnya. Si Mugirin yang cerewet melapor ke Dokter Indro kalau dirinya sakit. Kata Dokter Indro setelah diperiksa ia kena sakit jenggo. Usut punya usut ternyata Mugirin habis “maen” dengan Paitun, teman ceweknya Samino. Nah dari situlah lalu Dokter Indro memberi penjalasan bahwa sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam lagi ibu kota. Inginnya weekend, malah kena jenggo. Dan karena memang dasarnya sok tahu, Mugirin membalas, “Orang di kota pada kaya kook..kejam dari mana?”.

Lagi-lagi masalah pembangunan diungkap. Bahkah di kota, lebih tepatnya ibu kota, pembangunan pun tak bisa merata. Dan kali ini orang-orang kecil yang kalah saingan itu harus menyingkir ke pinggir sungai, tidur di “kandang burung”. Bandingkan bangunan-bangunan megah yang disebutkan Mugirin itu dan kandang-kandang burung bertingkat di pinggir kali. Kata Dokter Indro, orang tinggal di kandang burung adanya ya cuma di ibu kota, di Jakarta. Tapi sepertinya sekarang bahkan tidak hanya di Jakarta saja. Di mana-mana orang kecil selalu saja susah.

Menarik, bahwa apa yang diparodikan oleh Warkop Prambors tiga dasawarsa yang lalu itu masih aktual hingga sekarang. Bahkan mungkin semakin menjadi-jadi. Dan orang-orang kecil macam Mas Slamet, Sanwani, dan Mugirin kiranya masih tetap berada di tempatnya, di Kelitik dan rumah kandang burung di pinggir kali. Tak pernah beranjak dari situ dan masih saja berkutat dengan borok dan penyakit jenggonya. Tapi mungkin mereka semakin mafhum, bahwa untuk orang yang selalu lapar seperti mereka pembangunan hanyalah slogan. Sekeras apapun pembangunan diperdengarkan dan sebanyak apapun corong-corongnya, tatap saja mereka borokan. Karena mereka tahu, penguasa terlalu sibuk dengan “ini-itu”, masih sibuk sendiri dengan gajinya yang tak pernah naik, masih sibuk ngelencer studi banding ke luar negeri.

Dan untuk Warkop, yah, seandainya bisa utuh kembali mari kita tolong Mas Slamet dan kawan-kawan di Kelitik. Dengan candaan cerdas dan lagu-lagu plesetan yang kocak itu. Setidaknya mereka masih bisa bersuka ria di tengah hidupnya yang tak pernah lepas dari borok. 

Mandalawangi, 4 Maret 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.