.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA CATATAN-CATATAN SEDERHANA INI ::.

Jumat, 26 November 2010

Asal Usul dan Dunia Baru yang Saya Tapaki

Beberapa waktu belakangan, entah mengapa saya sadari bahwa saya amat giat membaca-bacai segala yang berbau jawa. Wayang purwa yang pertama kali menarik saya. Sejak kecil saya memang penonton wayang yang antusias. Sebenarnya tak perlu baca sedetail-detailnya, saya sudah cukup mengetahui seluk-beluk seni wayang dari kegiatan menonton dan cerita-cerita bapak saya. Hanya saja saya merasa ada sisi-sisi menarik yang membuat saya ingin menggelutinya lagi. Lalu karena keisengan saya, saya jadi mengumpulkan ratusan gambar wayang. Dan saya kembali kalut dalam fantasi masa kecil saya untuk menjadi karakter Raden Bambang Wisanggeni. Dia adalah tokoh favorit saya dalam dunia pewayangan. Representasi paling pas untuk pemuda yang jadi harapan Indonesia. Cerdas, kritis, visioner, taktis, dan rela berkorban adalah gambaran modern untuk Wisanggeni.

Lalu saya baca-bacai perihal sastra lisan dan tulis jawa. Ketemu lagi dengan tembang macapat dan serat-serat berbahasa kawi. Di rumah saya punya dua buah koleksi sastra jawa yang cukup langka untuk ukuran sekarang, Serat Wedatama dan Babad Kadiri (berupa transkrip aksara jawa dan alih aksaranya). Ada pula bacaan berbahasa jawa yang paling saya sukai, Serat Pedhalangan Babat Wanamarta, pemberian bapak saya. itu adalah sebuah teks lakon wayang, semacam skenario dalam dunia film. Semua itu saya simpan baik-baik di dalam lemari koleksi buku-buku saya.

Dahulu saya sempat belajar tembang-tembang macapat dan menulis sebuah tembang. Tembang itu satu-satunya tembang macapat yang saya tulis, entah sekarang berada di mana. Sekarang saya pelajari lagi tembang-tembang itu. Saya cari-cari juga di internet, barangkali ada tembang dalam bentuk MP3. Dan ketemu. Salah satunya adalah tembang macapat bermetrum Asmaradana yang amat membekas dalam ingatan saya. Dahulu bapak sering melantunkannya. Kalau tidak salah tembang itu digubah oleh Sunan Giri. Sederhana saja sebenarnya, tapi amat filosofis. Lalu saya baca-bacai berbagai petuah-petuah jawa yang saya ketahui. Rasanya seperti kembali pada dunia yang dahulu amat saya kenal.

Yah, di Depok ini entah mengapa saya tak menemui sesuatu yang menarik. Saya hanya menikmati jam-jam kuliah dan ngobrol dengan kawan-kawan baru saya di kampus. Saya tak menemukan sesuatu (semacam budaya barangkali) yang benar-benar membuat saya tertarik. Tidak saya dapati sesuatu yang benar-benar khas di sini. Saya tetap tenggelam dalam eksotisme jawa yang saya intimi. Mungkin juga karena saya baru beberapa bulan di sini. Tapi saya rasakan semua berjalan kering. Bukan maksud saya untuk memberi judgement buruk bagi budaya kota besar ini, tapi saya merasakan “ini bukan dunia yang saya kenal”. Saya asing di sini.

Sekali lagi bukan maksud saya untuk menilai baik-buruk budaya masyarakat di sini. Secara jujur saya merasa amat beruntung bisa bertemu dengan berbagai macam manusia di sini. Saya banyak belajar dari itu semua. Pengalaman dan pandangan saya banyak bertambah di sini. Saya banyak mempelajari nilai-nilai baru di sini. Namun saya juga jadi sadar akan satu hal, asal-muasal saya. Saya sepenuhnya jadi sadar, saya adalah orang JAWA. betapapun di sini saya berusaha menyesuaikan diri agar menjadi “orang ibukota”, namun ada area abstrak yang tidak bisa saya jejaki.

Bahasa Indonesia (logat Jakarta) saya masih cukup belepotan. Ada macam-macam ungkapan lisan yang tak bisa saya artikulasikan sebagaimana kawan-kawan saya yang asli Jabodetabek lakukan. Pernah saya iseng-iseng berlogat Betawi, Batak, Padang, dan Indonesia timuran dan tebaklah apa jadinya? Saya sendiri tertawa mendengarkan kata-kata yang meluncur dari mulut saya. itu bukanlah bahasa ibu saya. Itu bukanlah diri saya yang saya kenal. Ternyata sulit sekali lepas dari yang namanya asal usul. Dan memang kita semua tak bisa lepas dari hal itu. Hidup di manapun kita nantinya, tetap saja kita berdiri sebagai seorang pribadi yang punya identitas sendiri-sendiri.

Saya tarik satu pelajaran dari sini. Kita sebagai manusia, entah berasal dari manapun, adalah pribadi-pribadi yang khas. Kita bisa saja meniru orang lain, budaya lain, kehidupan lain, nilai-nilai lain, atau apapun itu. tetapi kita tidak bisa identik dengan sesuatu yang di luar diri kita. Kita harus punya karakter dan watak yang independen. Itulah yang akan selalu diingat orang tentang diri kita. jangan sampai kita kehilangan diri kita dalam lautan manusia yang luar biasa kompleks ini.

Saya memang orang jawa sepenuhnya. Dan saya bersyukur atas ke-jawa-an saya. Sampai kapanpun saya tetap orang jawa. Saya juga orang Indonesia tentunya. Dan saya bangga akan itu semua. Saya akui, saya belum menemukan sesuatu yang menarik di sini. Tapi saya senang bisa bertemu dengan kalian semua. Ingin rasanya, suatu saat saya bisa memperkenalkan jawa kepada semua orang dan berkenalan dengan budaya-budaya lain yang eksotis.

Mandalawangi, 26 November 2010

1 komentar:

  1. Home sweet home wahai anak muda, jowo kui alus-alus, tapi uduk bongso alus..hehe

    BalasHapus

.:: TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA * SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA SEMUA * WASSALAMU'ALAIKUM ::.